5. Cerai

241 30 2
                                    

Dinding merah muda dan jendela besar berenda menyambut kedatangan Naruto saat dia melangkah masuk ke paviliun. Dia terdiam, kehilangan kata-kata ketika melihat interior dan dekorasi paviliun yang kini dipenuhi nuansa feminin, berbeda jauh dari yang dia ingat dahulu.

Naruto berdiri terpaku di ambang pintu, menatap ke dalam dengan keheranan. Ini pertama kalinya dia melihat tempat ini lagi setelah sekian lama, sudut yang tidak pernah dia pedulikan selama sepuluh tahun, sejak tempat itu menjadi milik Hinata.

“Selamat datang,” ucap Hinata ragu-ragu saat melihat Naruto yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Namun, dia terkejut ketika bola mata Naruto bergulir, seolah menatapnya. Hinata tersipu dan menunduk. “Si–silakan duduk.”

Naruto menggerakkan tongkat pendampingnya saat berjalan. Dengan penuh pengertian, Hinata meraih tangan sang suami, menuntunnya ke tempat duduk. “Mau minum apa?” tanyanya.

“Apa saja.” Naruto melipat tongkat pendampingnya dan meletakkannya di samping tempat duduknya. Melihat warna merah muda di mana-mana membuat Naruto merasa merinding. Dia teringat mendiang ibunya yang juga menggemari warna merah muda.

Melihat kamar Hinata, Naruto teringat masa kecilnya bersama saudaranya, ketika ibunya suka mendandani mereka dengan gaun-gaun penuh renda dan berwarna merah muda. Dia dulu sangat membenci renda dan warna itu, merasa dipermalukan setiap kali dipaksa memakainya. 

Kini, bertahun-tahun kemudian, saat dia melihat nuansa serupa di paviliun Hinata, ingatan itu kembali menghampirinya. Meskipun masih menganggapnya absurd, ada sedikit rasa nostalgia yang mengingatkan dia pada masa lalu dan ibunya yang sudah tiada.

“Silakan,” ucap Hinata, mengusik lamunan Naruto. Dia menaruh cokelat hangat di depan suaminya, lalu duduk di seberang meja. Hinata ingin melihat wajah suaminya dengan jelas dari sudut pandang yang sempurna.

Naruto meraih minuman yang disuguhkan istrinya. Dahinya mengernyit saat merasakan manis menyentuh indra pengecapnya. “Minuman apa ini?”

Hinata yang sedang senyam-senyum tidak jelas, tersentak oleh pertanyaan Naruto. “Ah, emm … itu cokelat hangat. Hanya ada itu di kamarku. Kenapa?”

“Saya tidak suka manis.”

“Oh,” otaknya terlambat memahami, “ah, baiklah. Nanti aku akan menyuruh pelayan untuk menyimpan kopi atau teh.”

“Menyimpan?” Kening Naruto bertaut.

“Iya. Supaya ketika Om mengunjungiku, aku bisa menyuguhkan minuman yang Om suka,” harap Hinata.

Naruto menghela napas panjang, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. “Hinata, sepertinya kamu salah paham. Saya tidak punya niat mengunjungi kamarmu lagi. Saya ke sini sekarang karena ada hal penting yang perlu saya sampaikan.” Dia memijat sisi kepalanya. Hinata benar-benar polos. Dia tidak tahu arti seorang suami mengunjungi kamar istrinya. Jika Naruto melakukannya dua kali, gosip tentang hubungan mereka akan segera menyebar dan sampai ke telinga Hiruzen.

“Ada apa?” Manik mata Hinata berbinar, menunggu dengan tidak sabar.

Naruto menatap Hinata sejenak sebelum akhirnya berkata, “Saya akan segera menceraikanmu.”

"Apa?" Hinata terpegun, raut wajahnya mencerminkan keterkejutan. Dia tidak menyangka mendengar pernyataan Naruto yang begitu langsung dan dingin. Rasa kecewa dan sedih tampak sejenak di matanya.

“Kamu akan mendapatkan kompensasi besar dari perceraian kita, ditambah warisan peninggalan ayahmu. Itu akan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhanmu seumur hidup,” jelas Naruto. Dia merasa sudah waktunya melepaskan Hinata. Gadis itu sudah tumbuh dewasa dan akan mampu melindungi dirinya sendiri. Tidak ada lagi alasan bagi Naruto untuk membelenggunya dalam ikatan pernikahan yang tidak masuk akal ini.

Hierarki (NaruHina) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang