12. Malu

197 20 0
                                    

Hinata berangkat kuliah dengan riang. Dia tak lupa membagikan hadiah berupa uang kepada para pelayan dan penjaga keamanan. Meskipun dia tahu gaji yang suaminya berikan untuk mereka sudah cukup, Hinata merasa perlu memberikan apresiasi terhadap kerja keras mereka. Melihat senyuman penuh syukur dari mereka selalu membuatnya merasa senang.

Hinata meninggalkan mansionnya, menyusuri jalan-jalan rindang menuju jantung kota. Pemandangan Tokyo yang dulu memukau, kini terasa biasa baginya. Sesampainya di Hitotsubashi, dia lantas memarkirkan Mercedes-nya di tempat biasa. Namun, sebelum turun dari mobil, dia menghubungi Sakura dan Kiba. Hinata selalu malas duduk di kelas tanpa mereka.

Hinata: Hei! Kalian di mana?

Dia mengirim pesan ke grup obrolan. Tak selang lama, terlihat notif Sakura sedang mengetik, lalu diikuti Kiba.

Sakura: Aku di kelas.

Kiba: Aku juga.

Hinata: Oke!

Sesampainya di kelas, Hinata dengan gembira menunjukkan surat balasan dari Naruto kepada Sakura dan Kiba.

Sakura menerima surat dari Hinata, lalu membacanya. Setelah selesai, dia mengangkat tatapan skeptisnya dan berkomentar, “Ini bukan surat cinta. Terlalu formal dan langsung, Hinata.” Dia menambahkan dengan nada penilaian. “Tapi, yaa … setidaknya dia membalas suratmu.”

Kiba tersenyum ringan sambil mengamati reaksi Sakura. “Itu yang paling penting,” tanggapnya sambil melirik Hinata. “Positif, Hinata.” Dia menunjuk pelipisnya seraya menyunggingkan senyuman bersahaja.

Hinata tetap bersemangat meski mendengar tanggapan skeptis dari teman-temannya. “Dia sibuk, jadi aku memakluminya,” jawabnya dengan penuh keyakinan. “Setidaknya, kami bisa berkomunikasi ya, ‘kan? Semoga hubungan kami terus berkembang.” Sorot mata Hinata memijarkan harapan.

Sakura dan Kiba saling berpandangan, lalu Sakura mengangguk setuju. “Kami selalu mendukungmu,” pungkasnya.

Kiba menambahkan dengan gaya khas member kpop saat menyemangati. “Betul. Semangat, Hinata!”

Hinata mengacungkan sebelah tangannya seraya berseru semangat, lalu bermanja pada kedua temannya. “Aaaaaa! Terima kasih banget! Kalian yang terbaik!” Dia merangkul Sakura dan Kiba dengan suka cita.

Tak selang lama, Professor Hatake–dosen mereka–memasuki ruang kelas sembari membawa tumpukan makalah dan buku. Professor Hatake memberikan salam singkat sebelum mulai mengatur bahan ajar di meja depan.

"Selamat pagi, semua," sapanya dengan nada formal. "Hari ini kita akan membahas topik penting dalam teori hukum yang akan mempersiapkan kalian untuk ujian mendatang."

Hinata mengalihkan perhatiannya ke pelajaran dan menyiapkan buku catatannya. Begitupun dengan Sakura dan Kiba, mempersiapkan diri, menyimak. Kelas pun dimulai, meninggalkan pembicaraan ringan sebelumnya.

***
Saat tengah asyik memainkan ponsel menunggu pergantian mata pelajaran, tiba-tiba keadaan kelas menjadi gaduh. Situs resmi fakultas hukum diretas, dan semua foto di situs tersebut tiba-tiba diganti dengan foto-foto Hinata, membuat suasana di kelas semakin kacau.

Hinata terkejut dan bingung saat melihat foto-fotonya menghiasi situs resmi fakultas hukum. Dia merasa malu dan tidak nyaman dengan perhatian mendadak yang tertuju padanya.

“Lihat lah, semuanya foto Hinata.”

“Jadi, sekarang Hinata bintang utamanya? Lucu banget.”

“Kalau begini, bagaimana kita mengecek tugas-tugas?”

“Hinata, apa yang sudah kamu lakukan sampai foto-fotomu ada di situs resmi kampus?”

“Jangan-jangan ini cara kamu untuk mencari perhatian.”

Teman-teman di kelas menunjukkan berbagai reaksi. Beberapa tampak penasaran dan mulai bergosip, sedangkan yang lain tampak tak acuh, lebih fokus pada persiapan pelajaran berikutnya. Namun, beberapa reaksi negatif muncul dari mereka yang merasa terganggu dan mulai menyindir serta melontarkan kritik pada Hinata.

Sakura dan Kiba, yang melihat betapa tidak nyamannya Hinata, bergegas untuk mendukungnya.

Sakura mendekati Hinata dengan penuh empati, “Jangan pedulikan mereka, Hinata. Ini jelas bukan salahmu. Kita semua tahu ini hanya ulah orang iseng. Kamu tidak perlu merasa malu.”

Kiba menambahkan dengan tegas, “Ini jelas bukan cara yang adil untuk memperlakukanmu. Mereka yang berbicara seperti itu mungkin cuma iri atau tidak memahami situasimu. Lebih baik kita keluar dari sini dan biarkan mereka berpikir sendiri.”

Hierarki (NaruHina) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang