10. Bantuan

173 21 5
                                    

Setelah berpisah dengan Sakura, Hinata memutuskan untuk singgah di kafe favoritnya. Jam menunjukkan pukul tiga sore, dan dirinya malas pulang karena pikirannya masih semrawut. Hinata ingin minum cokelat panas sebentar di Jardin untuk memperbaiki suasana hatinya.

Saat Hinata duduk di sudut dekat jendela, seorang pemuda tiba-tiba muncul dan menyapanya. “Hallo, Hinata!” sapanya dengan senyuman ramah yang tampaknya terlalu cerah untuk suasana hatinya. “Uchiha Sasuke.” Dia mengulurkan tangan, mengajak Hinata berkenalan.

Hinata menerima ajakan berkenalan Sasuke demi kesopanan, meski senyumannya tidak bisa mengubah suasana hati gadis itu yang masih suram. Dia merasa seperti sedang ditatap oleh seseorang yang terlalu mengenalnya, meski dia baru pertama kali melihat pemuda ini.

“Boleh duduk di sini?” tanya Sasuke sambil menunjuk kursi di satu meja dengan Hinata. Permintaan itu membuat Hinata merasa tidak nyaman, seolah ada yang salah dengan situasi ini.

“Begini ….” Manik mata Hinata membulat saat Sasuke duduk di kursi yang ditunjuk dengan sikap seenaknya. Sifat Sasuke yang terlalu sok dekat membuat Hinata merasa tertekan.

Sasuke menghela napas panjang dan menaruh tas gendongnya di dekat kaki kursi. “Hari yang melelahkan,” katanya pada diri sendiri, seolah merasa sangat dekat dengan Hinata.

Suasana hati Hinata semakin memburuk. Dia merasa terjepit oleh sikap Sasuke yang kurang menghargai ruang pribadinya. Hinata membatalkan niatnya untuk bersantai sejenak dan segera memanggil pelayan. “Kemas pesanan saya. Saya akan membawanya pulang,” ujarnya dengan tegas.

Dia memasukkan ponselnya yang sedari tadi dia mainkan ke dalam tas dan beranjak dari kursi tanpa mengacuhkan Sasuke. Namun, pemuda itu mengikuti langkahnya, menunjukkan ketertarikan yang agak mengganggu. “Maaf jika aku mengganggu,” ucap Sasuke, gelisah kala melihat Hinata meninggalkan meja. “Aku hanya …”

Hinata melirik sekilas dan mengangguk singkat tanpa menjawab, masih tampak ingin menjaga jarak. Setelah membayar, dia mengambil kotak cokelat panas yang sudah dikemas dan segera bergegas menuju pintu keluar.

Sasuke tetap mengikuti di belakang, dan saat Hinata hendak keluar, dia meraih tangan Hinata dengan gelisah. “Tunggu!” ucapnya dengan nada penuh kecemasan. “A–aku... sudah lama memperhatikanmu. Aku cuma ingin …” Sasuke tampak sangat gelisah, dan tatapan matanya menunjukkan bahwa dia memang sudah lama mengamati Hinata.

“Maaf, saya harus pergi. Tolong lepaskan tangan saya.” Hinata berusaha melepaskan tangannya, kegelisahan mulai berubah menjadi ketakutan. Dia merasa semakin terpojok oleh tatapan intens Sasuke.

“Tidak!” bentak Sasuke dengan tangan gemetar memegangi tangan Hinata. “Ah, m–maaf,” katanya, tetapi tetap enggan melepaskan tangan Hinata.

Hinata merasa semakin cemas dan takut. Jantungnya berdebar kencang, dan dia mulai khawatir tidak ada yang akan membantunya. “Tolong lepaskan tangan saya,” pintanya dengan nada tegas, berusaha tetap tenang.

Sasuke menatap Hinata dengan tatapan yang campur aduk antara rasa bersalah dan keputusasaan. “Aku hanya ingin bicara ... kumohon ...”

Hinata menarik napas dalam-dalam, berusaha meredam kegelisahan dan ketakutannya. “Ini tidak pantas. Kamu sudah membuatku merasa sangat tidak nyaman.”

“A–aku minta maaf. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya ingin mengobrol denganmu.” Sasuke masih tak melepaskan pergelangan tangan Hinata.

Hingga ketika datang pelanggan baru, seorang pemuda. Dia melihat aksi tarik menarik halus di antara Hinata dan Sasuke. Melihat air muka gelisah Hinata, dia pun menyimpulkan sesuatu.

“Sayang, akhirnya aku menemukanmu!” serunya, lalu memeluk Hinata dengan lembut, membuat Sasuke terkejut sampai melepaskan genggamannya. Luka dalam tatapan Sasuke mengintensif, terpukul oleh kejadian ini.

Hinata–yang terkejut dengan tindakan tiba-tiba ini–menatap pemuda itu dengan bingung. Namun, dia cepat menyadari niat baiknya dan memanfaatkan situasi ini. “Oh, Sasuke,” kata Hinata, mengikuti peran yang dimainkan pemuda tersebut. “Ini pacarku, Kabuto.”

Yakushi Kabuto merupakan teman satu fakultas Hinata, mahasiswa populer yang menjadi incaran para hawa di universitas mereka. Tatapan tegasnya membuat Sasuke semakin terpojok. “Dia siapa?” Kabuto memindai Sasuke dari atas hingga ke bawah.

“Bukan siapa-siapa,” balas Hinata cepat, ingin segera pergi dari sana. “Bisa kita pergi sekarang?” Dia menatap Kabuto dengan senyuman hangat yang dipaksakan.

“Tentu. Ayo!” Kabuto merangkul Hinata dengan lembut dan mengarahkan dia ke pintu keluar–menatap tajam Sasuke, menunjukan ketidaksukaannya–disambi berpamitan pada pemuda itu sebagai formalitas. Sasuke berdiri diam, tak mampu merespons.

Setelah jauh dari kafe, rangkulan Kabuto pun lepas. Hinata menoleh kepada Kabuto dengan ekspresi campur aduk. “Terima kasih banyak. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau kamu tidak datang.”

Kabuto mengangguk seraya tersenyum ramah, tatapan matanya penuh perhatian. “Tidak masalah. Itu hanya bantuan kecil. Bukan apa-apa.”

Hinata menghela napas panjang untuk menenangkan diri. “Aku sangat menghargai apa yang kamu lakukan.” Dia teringat cokelat hangat yang dibawanya. “Ah, iya. Sebagai ucapan terima kasih, tolong terima ini.”

Kabuto melambaikan kedua tangannya seraya tersenyum bersahaja, menolak, karena dia membantu Hinata tanpa pamrih. “Oh, tidak perlu. Jangan. Itu bukan apa-apa. Sungguh.”

“Tidak, Kabuto. Terima ini. Untuk sekarang aku hanya punya ini. Lain kali, aku akan mentraktirmu.” Hinata mendesak dengan lembut, ingin menunjukkan rasa terima kasihnya.

Kabuto akhirnya menerima dengan senyuman. “Baiklah, terima kasih. Tapi, lain kali, traktir aku ya?”

Hinata tersenyum lega. “Tentu.”

Hierarki (NaruHina) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang