Senja mulai membiru atau...

5 1 0
                                    

Aduh, kenapa ini? Kenapa mimpi itu terasa begitu nyata? Apakah tadi hanya mimpi belaka? Tapi kan aku baru saja siap main dengan Gita? Enghh... kepalaku berat sekali, badanku sakit seperti habis tertimpa gajah.

"Ayo, Samantha, buka matamu," desahku dalam hati. Tapi kenapa rasanya begitu sulit hanya untuk membuka mata ini?

Apa ini? Kenapa seperti ada pria duduk di sampingku? Eh, itu tirai biru? Dan aroma ini... seperti aroma rumah sakit. Sial, apakah aku masih belum bangun dari mimpi ini?

Kepalaku terasa seperti dibekap dengan belerang panas, membuat air mata ini bercucuran tanpa henti. Sejenak, bayangan diriku yang tertabrak kuat oleh sepeda motor muncul di pikiranku, dan rasa sakit itu begitu nyata, Ya Tuhan...

Tanpa sadar, air mataku semakin deras. Aku terisak, aku... aku terisak-isak. Aku tidak menyangka bahwa aku benar-benar mengalami kecelakaan. Aku ingin teriak, tapi sepertinya ada yang mengganjal di tenggorokanku. Suara tidak keluar, dan aku hanya bisa menangis, penuh rasa sakit dan keputusasaan.

"Tolong aku, aku benar-benar tidak bisa bersuara," batinku sambil terisak. Aku hanya bisa menangis keras, dan wajah pria yang menolongku muncul dalam ingatanku.

"Kamu tunggu bentar, aku panggil dokter dulu ya," suara berat monoton itu menggetarkan telingaku. Suara yang kudengar terakhir kali saat aku tak berdaya. Wajahnya terasa familiar, meski tubuhnya yang penuh tato tidak ku kenali.

Tunggu, mata itu mirip mata dari teman sekelompokku saat semester awal. Tapi itu tidak mungkin, pria itu selalu memakai hoodie warna gelap, jas almet di luar, serta masker dan kacamata. Dia jarang sekali berbicara. Aku hanya mendengarnya bicara sekali dua kali saat menolak usulanku dan saat presentasi di depan. Setelah semester 2, kami tidak sekelompok lagi dan tidak berinteraksi lagi dan aku sudah melupakan seperti apa suaranya.

Tunggu, aku ingat namanya... Erick. Ya, itu Erick, pria pendiam itu. Ah, lupakan dia. Entah siapa pun dia, kenapa tangan kananku tidak bisa digerakkan dan kaki kananku terasa nyut-nyut? Hiksss... aku benci ini, hiksss.

Aku ingin teriak, tapi suaraku tak bisa keluar. Aku hanya bisa menangis. Kenapa aku selemah ini? Tolong, tolong aku. Bibirku terasa kaku sekali. Ini hanya kecelakaan ditabrak sepeda motor, tapi kenapa separah ini, Ya Tuhan? Awas saja kau yang menabrakku, akan ku pastikan kau... ah, sudahlah. Aku tidak tahu mau menyumpahimu apa, toh keadaanku tidak akan kembali membaik secepat itu.

SHITTTT

THIS IS SO FU''' ANNOYING

Air mataku tak bisa berhenti. Bahkan sosok dokter yang tadi dijemput sudah tiba bersama perawat, tapi air mata ini terus mengalir. Padahal aku sudah tidak terisak-isak lagi. Dia mengecek keadaanku dan mencoba berbicara, tapi aku tidak bisa menjawab atau sekadar menggerakkan bibirku.

"Halo Jubaedah, gimana keadaanmu?" tanya dokter itu.

What the...? Namaku bukan Jubaedah, tapi Samantha. S.A.M.A.N.T.H.A. Samantha. Aku hanya bisa mengerutkan alis sebagai tanda tanya. Dokter itu terus bertanya, tapi aku tidak bisa menjawab.

"Pasien mengalami shock berat setelah kecelakaan sehingga tidak bisa segera berbicara. Tapi jika pasien diajak bicara terus, mungkin dia akan cepat pulih. Perawat akan membersihkan dan mengganti pakaiannya terlebih dahulu sebelum membawa ke ruang inap. Kami akan memantau lagi dua hari ke depan. Jika tidak ada yang janggal, pasien bisa segera pulang. Ada yang mau ditanyakan?" jelas dokter itu.

What? Aku mau disentuh? Ho... ho... tunggu dulu, aku malu. Dan apa? Aku terkena shock? Minggu depan aku perlu kuliah hiksss...

Air mata sialan ini kembali turun. Erick atau siapa pun kau, tolong jangan tinggalkan aku. Aku hanya bisa memandangi Erick sebagai tanda minta tolong, dan balasannya hanya mengangkat satu alisnya sebagai tanda tanya.

"Apakah saya bisa meninggalkan pasien dan pulang?" tanya pria itu.

Apa, Erick atau siapa pun kamu, kamu tega meninggalkanku hikss.. hikss...

"Saya tahu Anda mungkin mau pulang, membersihkan diri, atau mengambil perlengkapan, tapi sebagai wali, lebih baik Anda di sini mendampingi pasien dan menghubungi orang terdekat untuk hal-hal yang diperlukan," ucap dokter itu.

Dokter itu segera keluar dari tirai, dan perawat wanita datang dengan baju rumah sakit dan sebaskom air. Apa? Aku akan dibersihkan di ruangan IGD yang terbuka ini?

Eh, pria itu kemana? Jangan tinggalkan aku. Ayo, Samantha, raih tangannya, tapi aku tidak bisa.

"Arghhh..." aku teriak sambil meluruskan lengan kiriku yang tertancap infus untuk meraihnya. Aku... aku bisa teriak. Bagus, dia berhenti.

"Wah, kalian pasangan ya? Kayaknya pasangan mas tidak mau mas pergi deh," kata perawat dengan nada jahil.

"Eh, dia itu..." ucapan pria itu belum selesai saat perawat itu memotongnya.

"Yaudah, mas di sini aja tapi balik badan ya, kasian kakaknya masih sedikit shock kok," ucap perawat itu.

T-shirt kesukaanku dipotong begitu saja, begitu juga dengan celana jeans kesukaanku. Padahal ini satu-satunya celana jeans yang aku miliki. Da-dah, ah sudahlah, aku sekarang sangat malu.

Tubuhku yang mirip Mrs. Piggy ini sudah disentuh-sentuh begitu saja seperti memarinasi daging. Andaikan saja tubuhku seperti gitar spanyol, mungkin aku sedikit malu.

Aku melihat ke arah pria yang membelakangiku itu. Samar-samar aku bisa melihat telinganya sedikit memerah. Astaga, aku kacau sekali.

"Mas, ini ada satu baju atasan rumah sakit. Pakai saja sementara daripada mas memakai kutang itu," ucap perawat setelah  memakaikanku setelan baju rumah sakit.

Oke, aku merasa sangat malu. Aku seperti tidak memakai apa-apa. Tolong...

Dia berbalik dan menerima pemberian perawat itu. Perawat tersebut pergi, lalu dua perawat datang menarik ranjangku menuju kamar pasien. Jujur, saat ini aku benar-benar merasa menjadi beban bagi pria itu.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Dasar gadis sial, aku sudah tahu kau akan jadi beban, arghh!" erangnya dengan geram di depan wastafel.

Pria itu membasuh wajahnya dengan kasar di depan wastafel rumah sakit yang sepi. Setiap tetesan air seolah mewakili kemarahan yang membuncah di dadanya. Ia menyisir rambutnya dengan tangan, menggerakkannya ke belakang dengan penuh kekuatan. Di dalam hatinya, kemarahan dan frustrasi menyatu menjadi sebuah bola api.

Mobil kesayangannya, yang kaca spionnya rusak parah akibat ulah seorang pelaku, menjadi simbol ketidakberdayaannya. Ia gagal menangkap pelaku, bukan karena tidak berusaha, melainkan karena nuraninya—yang tiba-tiba muncul dan memaksa tubuhnya untuk bertindak secara tiba-tiba—menariknya untuk menolong gadis yang sama sekali tidak ia inginkan di sampingnya. Setiap ia melihat gadis itu, dengan tawa cerianya, membuat tubuhnya terasa lebih kaku daripada sebelumnya sehingga ia sulit kosentrasi belajar di kelas. Ia merasa seperti tokoh dalam film animasi Ratatouille yang dikendalikan oleh tangan tak terlihat, gerakannya tanpa kesadaran dan penuh frustrasi.

Keinginan untuk menghancurkan cermin di hadapannya hampir menguasainya, tetapi seorang pria paruh baya yang tadi ia jumpai baru memasuki toilet menghalangi niat gila itu. Dengan kesal, Erick melepaskan kutangnya secara kasar dan menggantinya dengan baju rumah sakit. Ia melap diri dengan tisu rumah sakit dan kemudian melemparkan kutang kotor ke dalam tong sampah.

Kembali ke luar, ia menuju mesin kopi yang terletak tepat di depan kamar rawat inap gadis itu. Dalam kepedihan dan kemarahan, ia meraih secangkir kopi panas yang baru dituang ke dalam cangkir kertas kecil. Kopi yang pekat dan panas itu menelusuri tenggorokannya tanpa memberinya rasa kenikmatan. Satu tegukan pun seakan tidak mampu menyusutkan kemarahan yang membakar di dalam dirinya.

Di sudut ruangan, seorang pria paruh baya, yang baru keluar dari toilet, menatap dengan penuh rasa ingin tahu. Melihat momen itu, pria itu menggumam pada dirinya sendiri, "Apakah dia sefrustrasi itu melihat pasangannya masuk rumah sakit?"Kemudian, pria itu melangkah masuk ke ruangan yang sama dengan gadis itu, mencari istrinya yang sedang dirawat.

PRAKASA ASTI   [ON GOING]Where stories live. Discover now