मित्र (Mitra)

4 0 0
                                    


"सत्सङ्गतिः किमपि दुर्योजनं स्यात्।"

(Satsangatih kimapi duryojanam syāt.)

"Pergaulan yang baik akan menjauhkan segala kesulitan."

***

"Bagaimana menurutmu kata teman dan sahabat? Bukankah itu hanya permainan lidah?"

"Permainan? Atau mungkin cara manusia menyamarkan kepalsuan dalam hubungan?"

"Atau sekadar alasan untuk menusuk lebih dalam, membedakan siapa yang layak dikhianati?

"Benar. Pada akhirnya, semua hanyalah label untuk mengukur seberapa cepat kita dilupakan."

________________________________________________________________________________

Aku tidak tahu apakah ini perasaanku saja, tapi jarak di antara aku dan Gita seolah makin jauh. Seperti ada tembok besar yang tidak tampak tapi terasa olehku, membatasi kami. Kami pernah sangat dekat, seperti dua sisi koin yang tidak terpisahkan. Tapi sekarang, semuanya berubah. Aku merasa seperti terjebak di dalam gelembung yang semakin menjauh dari orang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupku. Mengapa semua ini terjadi? Apakah aku yang terlalu sensitif, atau memang ada sesuatu yang sedang terjadi di antara kami?

Sejak aku pindah ke apartemen ini, Gita jarang bermain denganku. Dulu, dia selalu ada, mengetuk pintu kamarku, mengajak keluar, berbagi cerita tentang hari-harinya. Sekarang, dia lebih sering jalan bersama teman sekelompoknya. Mungkin ada pujaan hatinya di sana? Aku melihat dari jauh bagaimana dia tertawa dan bercanda dengan mereka, dan entah kenapa, ada perasaan asing yang muncul di hatiku—perasaan ditinggalkan. Tapi, dia sendiri lebih sering terlihat di tempat Cecil. Ya, aku tahu kost Cecil dekat sekali dengan kampus, hanya beberapa langkah dari gedung kuliah kami. Tapi tetap saja, kenapa dia lebih memilih Cecil daripada aku? Aku bahkan tidak tahu siapa yang dia anggap sebagai teman sejati sekarang.

Apakah benar perkataannya di kafe tempo hari bahwa dia hanya ingin berteman denganku karena kostku dekat kampus? Saat itu, aku hanya tertawa, menganggapnya sebagai candaan. Tapi sekarang, kalimat itu terus terngiang di kepalaku. Persahabatan kami sudah terjalin sejak semester satu, dan sekarang kami sudah hampir mendekati akhir semester lima. Rasanya sulit dipercaya, tapi entah kenapa itu terasa seperti bercanda sekaligus serius. Apakah selama ini, aku hanya menjadi pilihan praktis baginya? Hanya seseorang yang mudah dijangkau, bukan seseorang yang benar-benar penting? Ah, sudahlah. Aku tidak ingin terus menerus memikirkan hal ini, karena semakin dipikirkan, semakin sakit rasanya.

Aku takkan memikirkannya lagi. Nanti, aku akan mencoba menyapanya kembali. Toh, kami pasti akan duduk bareng. Mungkin aku yang terlalu berpikir negatif, dan semua ini hanya perasaan sesaat. Jujur saja, hari ini aku sedikit lebih senang dari biasanya. Tanganku akhirnya bisa terlepas dari gips bau sialan itu. Walaupun tangan kananku masih lemas saat digerakkan, tapi itu akan membaik dengan latihan. Ini seperti mendapatkan kebebasan kembali, setelah sekian lama terkurung dalam batasan yang menyebalkan. Akhirnya, aku bisa menguncir rambutku setinggi harapan orang tuaku. Hahaha, rambutku akhirnya rapi dan terikat tinggi, sesuatu yang sederhana tapi begitu memuaskan. Tak lupa, aku menempelkan plester di tengkuk untuk menutupi kata-kata penyemangatku. Plester itu lebih dari sekedar aksesori, itu adalah pengingat bahwa aku kuat dan bisa melalui apapun.

Hari ini juga, aku memutuskan membuang bungkus rokokku untuk merayakan kembalinya tangan kananku. Hahaha, dan juga sarapan cantik sebelum berangkat ke kampus. Rasanya seperti hari baru yang penuh harapan, meskipun aku tahu, di dalam hatiku, ada kegelisahan yang masih mengintai. Mungkin hari ini akan lebih baik, atau setidaknya, aku berharap demikian.

PRAKASA ASTI   [ON GOING]Where stories live. Discover now