Erick terbaring di sofa panjang berwarna abu-abu tua di ruangan klinik yang beraroma harum dari aroma terapi yang sengaja dipasang untuk menciptakan suasana menenangkan. Dindingnya dihiasi dengan lukisan-lukisan abstrak yang lembut, sementara lampu-lampu lembut memberikan cahaya hangat yang seolah menenangkan. Namun, ketenangan ini kontras dengan suasana hati Erick yang sedang bergejolak. Ia merasakan sakit yang tidak hanya datang dari fisik, tetapi juga emosional. Di depan sofa, Bill, sang psikolog, duduk dengan posisi santai namun tampak sedikit lelah. Penampilannya yang rapi, dengan kemeja navy dan dasi hitam yang sedikit longgar, mencerminkan profesionalisme yang sudah terbiasa menghadapi berbagai jenis pasien, tetapi hari ini tampaknya tantangan ini agak melelahkan.
"Bill, kamu tahu nggak? Gadis yang kemarin aku bilang, dia muncul lebih ganas lagi! Bikin aku semakin mudah marah, emosiku jadi tidak stabil, dan penyakit jantungku kambuh lagi. Dia muncul lagi dan semalam bikin aku benar-benar naik pitam. Dia itu pindah ke apartemen yang sama denganku, tepat di bawah balkon sebelah kanan apartku. Benar-benar bikin penyakit jantungku kumat!" Erick memulai curhatnya dengan nada frustasi yang tinggi. Setiap kata yang diucapkannya penuh dengan beban emosional, dan seakan-akan setiap kalimat yang keluar dari mulutnya membawa serta kesakitan yang ia rasakan.
Bill, dengan tampang malas dan matanya yang sudah sering berhadapan dengan masalah sejenis, memegang pena dan papan tulis dengan kertas putih yang bersih, seakan-akan bersiap mencatat sesuatu. Namun, ia lebih memilih untuk tidak menulis apapun. Ia sudah mendengar cerita ini lebih dari sekali, dan semakin lama ia mendengarkan, semakin ia yakin bahwa apa yang dialami Erick bukanlah penyakit fisik yang serius, melainkan sesuatu yang jauh lebih kompleks dan mendalam.
"Ya, aku mendengarkanmu, Erick. Lanjutkan saja," ujar Bill dengan nada datar, mencerminkan kebosanan yang tidak bisa disembunyikan. Ia tampak tidak bersemangat, seolah merasa bahwa sesi ini hanyalah rutinitas yang harus dilalui.
"Makasi, Bill. Dan kamu tahu juga, dia cuma pakai tanktop ke balkon dan dia merokok? Kamu dengar, merokok? Dia benar-benar bahaya! Sepertinya aku harus pindah apartemen, bukan?" Erick melanjutkan keluhannya tanpa henti. Suaranya penuh dengan kepanikan yang tak kunjung mereda. "Dia benar-benar bahaya. Aku nggak bisa bertahan begini terus, Bill. Setiap kali aku melihat dia, jantungku seakan mau loncat keluar dari tubuhku."
Bill menggelengkan kepalanya, sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Erick tidak menyadari bahwa yang dia alami adalah sesuatu yang sangat umum—perasaan jatuh cinta. Bill sudah mendengar keluhan ini dari Erick berulang kali, dan dia tahu persis bahwa apa yang dialami Erick adalah "cinta monyet," meskipun Erick sendiri tidak menyadari hal ini.
"Kau tahu, Erick, hampir setiap kali kau datang ke sini, keluhanmu tidak jauh dari ini. Tapi aku sudah memberitahumu berkali-kali—" Bill memandang papan tulisnya sejenak sebelum melanjutkan, "—kau sebenarnya tidak perlu pindah apartemen. Kau hanya perlu memperbaiki hubunganmu dengan gadis itu. Itu saja obatnya."
Erick terlihat terkejut dengan pernyataan ini. "Serius? Itu saja?" tanyanya dengan penuh keraguan. "Bagaimana mungkin itu menjadi solusi? Aku benar-benar merasa ini lebih dari sekedar masalah biasa. Jantungku—"
"—Jantungmu tidak akan 'lompat' atau mengalami gagal jantung. Ini hanya perasaanmu yang berlebihan," Bill memotong dengan nada sedikit kesal. "Jika kamu masih tidak percaya, coba tanya kakakmu. Pasti dia akan memberi saran yang sama. Kamu terus-menerus mengeluhkan hal yang sama tanpa mencoba mencari solusi yang lebih dalam."
Erick tampaknya merasa sedikit terluka dengan komentar Bill. "Tapi ini serius, Bill. Aku merasa ini lebih dari sekadar masalah emosional. Ini seperti serangan jantung yang terjadi setiap kali aku melihatnya. Aku merasa tertekan dan tidak bisa bernapas dengan baik."
Bill menghela napas panjang. "Terserah kamu. Jika kamu merasa ini adalah masalah besar, teruskan saja. Namun, aku rasa kamu perlu melihat ke dalam dirimu sendiri dan mengatasi apa yang sebenarnya terjadi," ucapnya dengan nada yang sedikit sinis. "Aku sudah mendengar cerita ini berkali-kali. Kamu harus berhenti berfokus pada gadis itu dan mulai memahami perasaanmu sendiri."
"Jadi apa? Kamu tidak mengerti betapa menyedihkannya ini bagiku," Erick menjawab dengan nada frustrasi. "Setiap kali dia berbicara atau bergerak, rasanya jantungku makin cepat berdetak. Aku merasa sesak napas, Bill. Aku tidak tahu harus bagaimana."
Bill menghela napas panjang. "Aku tahu ini mungkin terdengar tidak menyenangkan, tetapi kau harus memahami bahwa masalah ini tidak hanya terletak pada gadis itu. Masalahnya adalah bagaimana kau merespons perasaannya."
Erick tampak bingung. "Kamu maksud bagaimana aku merespons?"
"Ya," Bill menjelaskan sambil menulis di papan tulis. "Apa yang kau alami ini bukanlah penyakit jantung atau masalah fisik yang serius. Ini lebih tentang bagaimana perasaanmu terhadap gadis itu. Kau terus-menerus mengeluh tanpa mencari solusi yang lebih dalam."
"Ini bukan hanya soal perasaan!" Erick hampir berteriak. "Rasa sesak yang aku alami setiap kali melihatnya benar-benar membuatku merasa seperti jantungku hampir meledak. Aku tidak tahu harus berbuat apa."
Bill mengangguk, mencoba tetap tenang meskipun Erick semakin marah. "Jika kau merasa ini adalah masalah besar, mungkin kau perlu mencari cara untuk menghadapi perasaanmu sendiri. Mungkin cara terbaik adalah dengan mencoba berbicara langsung dengannya dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Erick merengut, merasa putus asa. "Dan apa yang harus kukatakan padanya? 'Hei, kamu membuatku gila dan jantungku hampir meledak setiap kali aku melihatmu'? Itu jelas bukan solusi."
"Ya, kamu mungkin harus mencari cara yang lebih bijaksana untuk mendekatinya," Bill menjelaskan sambil menghapus papan tulisnya. "Tapi jangan lupakan hal ini. Kau harus menghadapi perasaanmu sendiri dan mencoba memahami mengapa kau merespons seperti ini."
Erick hanya bisa duduk di sofa, memeluk bantal dengan erat. "Aku tidak tahu apa lagi yang harus kulakukan. Rasanya seperti aku berada di jalan buntu."
Bill memandang Erick dengan rasa simpati, meskipun dia mencoba untuk tetap objektif. "Jika kamu merasa terjebak, mungkin saatnya untuk mulai memahami perasaanmu dengan lebih baik. Ini bukan tentang gadis itu; ini tentang bagaimana kamu menghadapi perasaanmu sendiri."
Setelah sesi berakhir, Erick merasa kebingungan dan frustrasi. Dia melangkah keluar dari klinik dengan perasaan campur aduk. Langit mulai gelap, menandakan bahwa malam akan segera tiba. Erick merasa seperti dia berdiri di persimpangan jalan yang membingungkan. Ketika dia kembali ke apartemennya, pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan gadis yang terus mengganggu ketenangannya.
Sementara itu, di apartemen Samantha, suasana yang sama sekali berbeda terjadi. Samantha duduk di balkon dengan tanktop hitam dan celana training yang terjuntai dari pinggangnya. Ia merasakan kebebasan yang jarang dia rasakan setelah pindah ke tempat baru. Dengan tangan yang dibalut perban, ia menghisap rokok dengan tenang, meskipun pikirannya dipenuhi berbagai masalah.
Dia melirik ke bawah dan melihat jalanan kota yang sibuk, merasa sedikit lega dari tekanan yang dia rasakan selama ini. Namun, kehadiran Erick di pikirannya tidak bisa dihindari. Dia mengingat bentakan dan perasaan tertekan yang dihadapinya ketika berhadapan dengan pria itu. Meskipun dia merasa frustrasi dengan situasi ini, dia berusaha untuk tetap tenang.
Erick, di sisi lain, merasakan ketidaknyamanan yang mendalam. Setiap kali dia melihat Samantha, perasaannya semakin memburuk. Dia merasa seperti dia terjebak dalam lingkaran setan yang tak ada habisnya, dengan jantung yang berdetak cepat dan rasa sesak yang tidak kunjung hilang.
Dalam suasana yang penuh dengan ketidakpastian ini, baik Erick maupun Samantha harus menghadapi perasaan dan situasi mereka masing-masing. Keduanya berada dalam keadaan emosional yang rumit dan penuh dengan konflik yang belum terselesaikan. Konflik ini akan terus berkembang seiring dengan perjalanan mereka masing-masing menuju pemahaman dan resolusi.
Samantah mematikan puntung terakhir rokoknya dan memasukkannya ke dalam cangkir yang ada di bawah kursinya
"sepertinya aku akan boker"
YOU ARE READING
PRAKASA ASTI [ON GOING]
RomanceTerang itu selalu ada, meski kini mungkin belum terlihat oleh mata. Namun, kelak sinar yang kita dambakan akan menyapa, membawa harapan dalam setiap cahayanya.