द्वेष (dveṣa)

10 1 0
                                    

Samantha terbangun dari tidur dengan tubuh terjerembab di atas tumpukan buku dan bungkus ciki yang tersisa. Kecerobohannya selama bulan ini sudah mencapai puncaknya, dan rokok telah menjadi obat penenang yang tak bisa ditinggalkannya. Biasanya, bungkus rokok itu dapat bertahan hingga berbulan-bulan, namun sejak insiden yang menimpanya berbulan-bulan lalu, rokok telah menjadi sesuatu yang harus dikonsumsi setiap saat ketika kepalanya terasa seperti hendak meledak.

Hanya Sandra, sahabat lamanya, yang tahu kebiasaan ini. Sandra, yang hingga saat ini belum menunjukkan batang hidungnya sejak meminjam sejumlah uang dari Samantha tahun lalu, hanya berhasil dihubungi bulan lalu saat Samantha pindah ke apartemennya dengan akun media sosial palsunya. Percakapan tersebut berakhir dengan nada kasar.

Dalam balutan tanktop maroon dan hotpants, Samantha melangkah ke balkon, membawa serta cangkir keramik kosong yang diletakkannya di bawah kursi balkon. Dengan gerakan terampil, ia mengeluarkan pemantik api dan sebatang rokok, seolah benda itu adalah obat yang sudah menjadi rutinitasnya.

"Hahaha, gila banget," desahnya miris melihat sisa lima batang rokok dalam bungkusnya. Ia menyematkan rokok ke bibirnya, mulai menyalakannya, dan menghisap dalam-dalam sambil menatap ke atas, menikmati hari libur dari kampusnya. Ketika matanya terbuka kembali, pemandangan yang tidak diinginkannya kembali terlihat.

Pria itu, yang berada di balkon sebelah, duduk dengan secangkir kopi hangat di tangannya, memandangi pemandangan kota sambil melirik ke arah Samantha. Hanya mendapatkan balasan tatapan tajam dari Samantha yang sedang menghisap rokok.

"CKCK, pagi-pagi sudah merokok saja," celetuk pria itu sambil kembali menyeruput kopinya. Samantha ingin membalas perkataannya, tetapi ia menahan diri, memasukkan rokok ke dalam cangkir keramik dan segera menggigit permen karet yang terasa pedas.

"TING-NONG...TING-NONG..." Bunyi bel terus berulang.

"Iya, sabar-sabar sebentar," teriak Samantha, meskipun ia tahu bahwa si penekan bel tidak akan mendengar ucapannya. Ketika pintu dibuka, ia terkejut melihat sosok gadis di depannya. Gadis itu adalah Sandra, teman lamanya yang baru bulan lalu dia berargumen dengan sengit dan kini tiba-tiba muncul. Bagaimana bisa Sandra tahu nomor apartemennya?

"Hi," sapanya canggung, dihadapi oleh tatapan tak percaya dari Samantha.

"Mana uangnya?" tanya Samantha datar, meskipun sebenarnya ia ingin memeluk gadis itu. Hatinya remuk oleh sikap kasar Sandra ketika utangnya ditagih.

"Ada, ini. Aku akan kasih bunganya juga. Kenapa kamu tidak menyapaku?" Sandra mencoba menjelaskan, tetapi kata-katanya terputus saat Samantha membuka pintu lebar-lebar.

"Masuk," kata Samantha dingin. Sandra, teman Samantha sejak SMP hingga SMA, yang hubungannya memburuk setelah Sandra meminjam uang dan tidak membayar kembali, masuk ke dalam apartemen.

"Mana uangnya?" tanya Samantha lagi.

"Kamu merokok lagi, ya?" tanya Sandra, memperhatikan Samantha yang sedang mengunyah permen karet. Ia tahu bahwa Samantha merokok ketika mengunyah permen karet.

"Itu bukan urusanmu. Mana uangnya? Minggu depan aku perlu membayar uang sewaku," kata Samantha, lalu duduk di sofa dengan kaki disilangkan.

"Tanganmu kenapa?" tanya Sandra dengan nada prihatin.

"Aku dari tadi nagih uangnya. Kenapa kamu selalu mengalihkan pembicaraan?" Samantha mulai menaikkan intonasinya.

"Maaf, aku memang berniat mengembalikan uangnya. Tapi bisakah setengah saja? Aku masih butuh setengahnya untuk..." Sandra terputus oleh tawa sinis Samantha.

"Hng...hng...padahal kamu dengan sombongnya bilang ada bunga," kata Samantha sambil mendongak melihat Sandra dengan tatapan mengejek dan bibir yang dimayunkan.

"Kau tahu aku ceroboh, hehehe... Aku akan bayar setengah karena aku perlu setengahnya lagi untuk membayar MUA-ku," kata Sandra sambil duduk di sofa kecil di depan Samantha, hampir membuat Samantha heran dan mulai sedikit emosi.

"MUA? Kamu mau menikah? Atau ada pertunjukan seni yang harus dibayar MUA dengan uangku?" tanya Samantha sarkastis.

"Minggu depan aku akan menikah, Sam. Ini undangannya. Kami akan menikah di kota ini," kata Sandra sambil menyerahkan surat undangan pernikahan kepada Samantha.

Tanpa mereka sadari, seutas kain jatuh ke balkon Samantha dari balkon atas, dan pemilik kain tersebut sedang berusaha keras untuk mengambilnya dari balkon Samantha.

"Siapa calon mempelai pria itu? Bukankah kamu bilang akan menikah setelah wisuda?" tanya Samantha, heran. Ia tidak menyentuh undangan tersebut, ingin mendengar langsung dari mulut sahabatnya.

Pemilik kain yang terbang ke balkon Samantha akhirnya berhasil mendarat dan ingin mengambil celana pendek dari balkon Samantha. Tanpa sengaja, ia mendengar percakapan mereka dan menjadi penasaran.

"Bagas, aku menikah dengan Bagas, Sam," kata Sandra dengan lantang. Samantha terkejut, ternyata Sandra akan menikah dengan pria yang sangat ia sukai namun tidak berani mengungkapkan perasaannya. Saat itu, Samantha mengingat Sandra yang pernah menyemangatinya dengan perasaan yang dimilikinya. Sesungguhnya, Samantha sudah tidak memiliki perasaan mendalam terhadap pria tersebut setelah mengetahui sikap bejatnya dari Sandra sendiri melalui beberapa foto yang dikirimkan saat tamat SMA dulu.

Samantha menjilat bibirnya untuk menghindari kecanggungan dan mengusap wajahnya dengan kasar. "Kamu tahu kenapa aku tidak suka dengannya lagi dan kamu sendiri yang memberikan bukti tersebut. Jangan-jangan kamu memang sudah menyukainya dari dulu?" tanya Samantha tak habis pikir, sambil menempelkan permen karet pada surat undangan.

"Aku tahu, hikss... tapi itu demi ini," kata Sandra, sambil membuka jaket dan menunjukkan perutnya yang sedikit buncit. Samantha terkejut dan hanya bisa menyalakan sebatang kretek di mulutnya. Sementara sosok yang mengendap-endap di balkon hanya bisa menganga seperti sedang menonton drama Korea jadul.

"Goblok," kata Samantha lembut sambil mengembuskan asap kretek, meskipun kata itu diucapkan dengan lembut.

"A-aku khilaf, Sam. Saat itu hujan, dan-dan dan itu kecelakaan," kata Sandra gelagapan, akibat efek dari kretek yang sudah seperti obat penenang.

Samantha dengan lembut berkata meskipun tatapannya tajam terhadap gadis di depannya. "Itu bukan kecelakaan. Itu memang naluri nafsu kalian. Apa kau kira seperti mobil yang saling menabrak langsung meledak? Sudahlah, ambil saja uang itu. Anggap saja hadiah pernikahan dariku untuk kalian."

Samantha kembali menghisap rokoknya lalu dengan paksa menghantar Sandra yang menangis ke pintu. "Sam, aku sangat ingin kamu ada di sana sebagai bridesmaidku. Aku ingin..." ucapan Sandra terputus oleh Samantha yang bersandar di pintu, melihat keluar dengan tangan dilipat di dada.

"Jangan berharap lebih. Aku sibuk kuliah. Ku kira kau sudah cukup dewasa, ternyata kamu masih saja seperti ini. Sudahlah, meskipun begitu, selamat atas pernikahanmu, Sandra," kata Samantha, lalu menutup pintu tanpa peduli Sandra yang meringkuk di luar.

Samantha menatap sekilas undangan pernikahan yang tertempel pada permen karet, lalu berjalan ke balkon dan...

"Arghh, sialan, dasar mesum!"

"Aku bisa jelasin,aku bisa jelasin!!"

PRAKASA ASTI   [ON GOING]Where stories live. Discover now