"प्रकाशस्य अस्ति जीवनस्य अंधकारं दाह्यते, किन्तु सत्यस्य पथः सदा दीप्तिमानः भवति।"
(Prakāśasya asti jīvanasya andhakāraṃ dāhyate, kintu satyasya pathaḥ sadā dīptimānaḥ bhavati.)
"Di bawah cahaya, kegelapan kehidupan terbakar, namun jalan kebenaran selalu bersinar t***
Sebuah ruangan yang mewah dengan lampu gantung kristal berkilauan menjadi latar belakang sebuah adegan dramatis. Seorang wanita dengan rambut panjang, hitam legam, mengenakan setelan jas marun yang tegas, duduk dengan anggun di hadapan seorang pria. Jasnya terpasang dengan rapi, kecuali satu kancing atas bajunya yang dibiarkan terbuka, menambah kesan berani dan menggoda. Lipstik merah menyala di bibirnya menambah kesan berani dan menegaskan kehadirannya yang mengintimidasi. Pria di hadapannya, Bill, tampak sangat gelisah dengan kemeja putihnya yang tampaknya semakin sesak karena dasi coklat yang dikenakannya.
Wanita itu mengambil cangkir teh yang diletakkan di atas meja, menyesap perlahan, meninggalkan bekas lipstik merah di pinggiran cangkir. Gerakannya halus dan elegan, namun setiap gerakan itu penuh dengan dominasi yang tak terlihat. Setelah menempatkan cangkir kembali di meja, dia tersenyum tipis, namun senyum itu menyimpan ketajaman yang membuat Bill semakin merasa terpojok.
"Kenapa kamu terlihat tegang dengan kedatanganku, Bill?" tanya wanita itu dengan nada manis, namun ada ancaman tersembunyi dalam intonasinya. "Aku hanya ingin menikmati teh buatanmu sambil bertanya kabar tentang adikku tercinta. Dia selalu susah dihubungi akhir-akhir ini, dan tampaknya sudah pindah dari apartemen lamanya." Wanita itu menyilangkan kakinya dengan anggun, lalu melipat tangan di atas lutut, tersenyum manis namun sinis kepada Bill, sosok psikolog pemilik ruangan ini yang kini tampak sangat tidak nyaman.
"Ahaha... a-aku tidak tegang, Kak..." jawab Bill dengan nada canggung.
"Sebenarnya, aku tidak bertemu Elerick sejak beberapa bulan lalu. Aku juga tidak tahu dia pindah apartemen." Kata-kata kebohongan itu meluncur dari bibir Bill demi menyelamatkan diri dari kemarahan Erick. Namun, Bill tahu betul bahwa kakak Erick jauh lebih menakutkan. Kakaknya, seperti siluman macan tutul, dikenal karena kecerdikan, kelicikan, dan perhitungan yang cermat. Mereka dikenal karena kemampuan mereka untuk menghilang di antara bayang-bayang, bergerak tanpa suara, dan menyerang dengan presisi mematikan. Penampilannya yang menawan dan penuh corak menambah daya tarik, namun di balik penampilannya terdapat ancaman yang sangat nyata."Jangan berbohong kepadaku, Bill," kata wanita itu, suaranya tetap tenang namun setiap kata yang diucapkan penuh dengan ketegangan. Ia sedikit mencondongkan tubuh ke depan, melonggarkan dasi Bill dengan lembut, seolah-olah memperlihatkan empati terhadap kesulitan pria itu. Namun, gerakan itu malah semakin membuat Bill merasa terjepit.
"Kau terlihat susah bernapas," lanjutnya dengan nada yang tidak berubah, sementara matanya terus menatap Bill. Wanita itu duduk kembali dengan santai, menunggu jawaban dari pria itu. Ruangan menjadi hening, suasana tegang dan canggung menyelimuti.
"Bill aku mau konsull, urgent brooo.."
Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dengan keras. Seorang pria masuk dengan langkah tegas, namun suaranya langsung mengecil begitu ia melihat siapa yang sedang duduk di hadapan Bill."Halo, manis. Apakah kamu tidak ingin menyapa kakak tercintamu ini?" sapa wanita itu dengan senyuman yang menyeringai, seperti predator yang berhasil menangkap mangsanya. Senyumnya terlihat mengerikan di mata Erick, yang kini tampak seperti mangsa yang terjebak dalam cengkeraman macan tutul.
YOU ARE READING
PRAKASA ASTI [ON GOING]
Lãng mạnTerang itu selalu ada, meski kini mungkin belum terlihat oleh mata. Namun, kelak sinar yang kita dambakan akan menyapa, membawa harapan dalam setiap cahayanya.