Aku tidak tahu apakah ini hanya perasaanku atau memang Erick benar-benar tidak menyukaiku. Cara dia menatapku berbeda dibandingkan ketika dia menatap orang lain. Lihat saja saat Clara berbicara atau Frans saat diskusi kelompok—ia biasa saja menanggapi mereka. Tapi saat aku hanya tidak sengaja bertatapan dengannya, seolah-olah dia ingin mencabik-cabikku, dan itu membuatku merasa risih.
Sejak kami sekelompok, aku berusaha berbicara dengannya. Tujuanku adalah untuk membayar utangku. Jujur saja, aku masih merasa kurang enak karena belum membayar biaya kemarin.Ruang diskusi sudah mulai kosong. Tinggal aku, Erick, dan Clara, karena kami yang bertugas menyusun makalah kali ini. Tiap minggu, pengurus makalah berbeda-beda, dan hanya kami bertiga yang belum pernah bertugas. Makalah ini akan didiskusikan besok dengan dosen pembimbing.
Suasana terasa canggung. Aku duduk di depan Clara dan Erick, sementara Clara mengetik dan Erick memberikan instruksi tentang apa yang perlu ditulis dan yang tidak. Aku tidak bisa mengetik karena lengan kananku masih kaku walaupun gips sudah dilepas dan hanya dibalut perban.
"Eh, gaiss, kalian lapar nggak?" tanya Clara, menghentikan ketikannya.
Oh iya, ini kan jam makan siang. Perutku lapar, tapi aku lupa bawa bekal lagi.
"Gak," jawab Erick tanpa menoleh.
"Aku udah mulai lapar. Aku mau ke kantin. Erick mau ikut nggak? Atau mau nitip?" Clara hanya menanya Erick, seolah aku tidak ada di situ.
"Gak, pergi aja. Aku bakal lanjutkan ini," jawab Erick sambil mengambil laptop
."Makasi ya, Erick. Aku pergi dulu. Sam, jangan main ponsel mulu. Bantu Erick dong ngerjainnya!" Clara pun pergi meninggalkan ruangan, meninggalkanku di sini.
"Ceklek..." bunyi pintu saat Clara keluar.
Aku beranjak dan duduk di samping Erick untuk membantu menganalisis jawaban-jawaban yang dikumpulkan tadi. Tidak ada yang mengatakan apapun tentang ketidakhadiranku, jadi aku anggap ini bagian dari kewajibanku.
"Citt..." Aku menarik kursi pelan di samping Erick.
"Gak perlu. Kamu duduk di sana aja," katanya dingin.
"Apa sih, aku cuma mau bantu," jawabku, tetap ngotot dengan senyum bodoh.
"Kalau sudah dibilang nggak perlu, ya nggak perlu. Jangan ngeyel," ucapnya dengan nada meninggi.
"Kamu kenapa sih? Apa karena kecelakaan kemarin sampai kamu kerepotan? Kalau karena itu, aku benar-benar minta maaf deh. Aku kan udah bilang bakal bayar kembali, tapi kamu nggak mau," jawabku dengan hati-hati, berusaha memperhatikan kata-kataku.
"Kalau di bilang nggak perlu ya nggak perlu. Jangan ngeyel!" Erick terdengar benar-benar kesal.
"Kalau bukan karena itu, jadi karena apa? Jelas lah, Rick!" tanyaku pasrah, berusaha memahami apa sebenarnya yang membuatnya marah.
"Aku membencimu," tegas Erick, dan kata-katanya seperti pisau tajam yang menusuk.
"Kenapa?" tanyaku dengan hati sedikit terluka, walau tidak banyak.
"Kamu pembawa sial," jawabnya, dan kata-katanya benar-benar menusuk.
"BANGSAT!" teriakku dengan nada datar, kesal karena mulutku tidak bisa menahan kata-kata kasar. Aku melihat Erick terkejut, walaupun wajahnya tertutup masker dan kacamata.
"Apaan?" tanyanya sambil melepas masker dan kacamatanya dengan kasar, menatapku dengan mata tajam. Aku merasa terintimidasi, tapi aku berusaha tetap berdiri tegak. Aku ingin kabur, tapi tidak mau terlihat memalukan.
"Fuck you," gumamku tanpa suara, mengangkat jari tengahku sebagai tanda kemarahan.
"Grep..." Erick memegang jari tengahku dan menurunkannya dengan kasar. Aku benar-benar ketakutan.
"Dasar nggak tahu diri. Kamu tuh buat emosiku meledak mulu. Kamu tuh pembawa sial dan benalu, tahu nggak?" Erick berteriak, suaranya membuatku semakin takut. Aku melepaskan tangan dari genggamannya dan segera meraih tas sandangku, siap untuk kabur. Sebelum keluar, aku berhenti sejenak, menatap Erick dengan penuh kemarahan.
"Fuck you, bi**h!" ucapku tanpa suara, dengan wajah penuh kebencian dan jari tengah yang ku tunjukkan.
Aku benar-benar kehilangan kontrol diriku. Aku sudah muak dengan tatapan bencian itu. Aku ingin sekali meneguk air dingin agar pikiranku dan hatiku dingin. Tapi sebelum itu, aku melihat Clara yang heran melihatku lari sekencang mungkin ke arah lift, diikuti oleh Erick.
"Ting..." Lift terbuka tepat saat aku sudah mendekatinya. Aku pun langsung menekan tombol agar pintu tertutup. Aku melihat Clara menghentikan Erick yang berada tidak jauh di depanku. Erick menatapku dengan tajam, dan aku membalas dengan lidah yang dijulurkan.
"1:0," gumamku tanpa suara, senyum lebar di wajahku. HAHAHA, aku benar-benar puas dengan aksiku. Oh iya sial besok kami harus bertemu lagi untuk diskusi dan presentasi.
YOU ARE READING
PRAKASA ASTI [ON GOING]
RomanceTerang itu selalu ada, meski kini mungkin belum terlihat oleh mata. Namun, kelak sinar yang kita dambakan akan menyapa, membawa harapan dalam setiap cahayanya.