DA-DA

5 1 0
                                    

Aku tidak bisa tidur. Mataku melirik ke arah jam dinding. Ternyata ini sudah pukul 3:30 pagi.


Pikiranku sudah tidak sekacau kemarin. Aku mulai bisa berpikir tenang, dan air mata tak lagi mengalir di pipiku. Namun, aku masih belum bisa berbicara. Kulirik kakiku yang dibalut perban akibat keseleo, dan lenganku yang diberi gips karena retak sedikit akibat benturan dengan sepeda motor sialan itu.


Aku tidak bisa menghubungi siapa pun. Ponsel pun tak ada. Aku tidak bisa menulis karena keadaanku. Jangan berharap terlalu banyak pada tangan kiriku yang diinfus ini, yang terasa kaku. Bahkan pria ini tidak paham gerakan bibirku.


Hadeh... Aku benar-benar tidak berdaya. Aku hanya bisa menjadi benalu sementara di pria ini, seperti dalam drama Fa Fa Sol Sol La La Fa. Ha..ha.., yang benar saja, Samantha. Bedanya itu fiksi dan ini nyata. Lihat saja ekspresi pria yang tertidur di kursi samping brankarku. Tapi aku harus cepat pulih agar bisa segera kembali.


Mama... Bagaimana ya kalau Mama tahu keadaanku? Pasti dia sudah terpontang-panting datang ke kota ini. Ahk sudahlah, lebih baik aku tidak memberitahunya demi keamanan hati Mama.


Aduh, aku mau buang air kecil. Tapi toilet di mana ya? Di mana pun itu, aku tidak bisa kesana. Bangun saja susah. Ayo, Samantha, berusaha.


Satu... Dua... Tiga... Ayo, badan, bangkitlah. Sudahlah, maafkan aku pria yang mirip Erick, aku terpaksa membangunkanmu. Aku pun mengerahkan tangan kiriku dengan kekuatan penuh dan memukulnya pelan.


"Kenapa?" tanyanya dengan suara seraknya, mengangkat kepalanya yang tertunduk dan melepas tangannya yang bersedekap di dada.Aku menggerakkan bibirku, berusaha mengatakan "pipis." Ya, walaupun tanpa suara, dia pasti mengerti arti dari gerakan bibirku itu.


"Bibi?" Astaga, bukan bibi. Aku mau pipis. Baiklah, aku harus turunkan malu. Aku pun memegang perutku sebagai isyarat sakit perut, walaupun sebenarnya ingin pipis, agar dia paham.


"Lapar?" tanyanya lagi. Astaga, ya ampun.Aku menurunkan sedikit tanganku, membuka bibirku lebar-lebar melafalkan kata "toilet.""T.O.I.L.E.T."


"Tolilet? Oh, Toilet." Hadehh, aku sudah tidak tahan lagi. Aku hanya bisa mengangguk kuat.


Dia pun mengangkatku dari posisi berbaring ke posisi duduk, lalu celingak-celinguk mencari sesuatu, mungkin kursi roda, tapi tidak ada. Seketika, dia memapahku. Aku memegang infusku dengan tangan kiri, karena sedikit sulit menuntunku berjalan, lebih tepatnya sangat ribet. Kaki dan tangan kananku sakit, sementara tangan kiriku diinfus, dan aku masih lemah.Dia membawaku masuk ke toilet. Untung saja bilik wanita sedang sepi. Dia menungguku sambil bersandar di wastafel. Aku mengetuk pintu toilet sebagai isyarat bahwa aku telah selesai, dan dia kembali memapahku ke ruangan.


"Wah, kalian pasangan yang harmonis banget ya, lakinya penyayang banget," ujar ibu yang brankarnya tepat di depan brankarku, belum tertidur ternyata."Hiem... hiemm," hanya dibalas dengan tawa kecil ala tawa karir  oleh pria itu, dan si ibu kembali berbaring.Tak lama kemudian, dokter dan perawat datang membawa kursi roda untuk menjemputku melakukan pemeriksaan MRI. Aku memegang tangan pria itu agar dia ikut. Maaf ya, aku benar-benar masih sedikit takut sendiri di rumah sakit ini. Aku tidak punya siapa-siapa.

PRAKASA ASTI   [ON GOING]Where stories live. Discover now