"Arghh... cabul... mesum, ngapain ke balkon aku?" teriak Samantha, wajahnya merah padam saat melihat Erick yang sedang merayap di balkonnya. Pria bertato itu tengah memegang sesuatu yang membuat Samantha semakin kesal.
"Heh, aku bukan cabul!" balas Erick dengan suara berat. Dia menunjukkan kain yang sedikit lembab di tangannya—sebuah celana dalam abu-abu. "Tadi ini terbang ke balkon kamu saat aku menjemur."
Samantha menatap kain itu dengan tatapan jijik. "Dasar cabul, nunjukkin sempak sembarangan di mukaku, pamer banget!" Samantha berteriak sambil menutup matanya dengan tangan, berharap suasana ini akan hilang begitu dia membuka mata lagi.
Erick berusaha keras memenangkan argumennya. Dia terus-menerus mengayunkan celana dalam itu ke arah Samantha. "Aku nggak cabul! Ini hanya celana dalamku yang terjatuh."
"Singkirkan sempak itu dari wajahku! Aku muak melihatnya. Apakah kau tidak punya uang untuk membeli yang baru? Sempakmu terlihat seburuk kepribadianmu," ucap Samantha sambil menggeser tangan Erick yang memegang celana dalam itu dengan tangan kananya yang masih dibalut gips akibat ulah Erick di lab tempo lalu. Dengan tangan yang lain, Samantha menyematkan kretek ke mulutnya dan menghembuskan asap dengan sengaja ke arah Erick dengan posisi sedkit mendongak.
"Dasar gadis gila, kamu kira kamu doang yang bisa merokok? Nih, aku juga bisa!" Erick merebut rokok dari tangan Samantha dan mengisapnya dalam-dalam sebelum menyemburkan asapnya ke wajah Samantha dengan semangat dengan sedkit membungkuk.
Jarak mereka sangat dekat, dan suasana menjadi semakin tegang dan absurd. Samantha merasa wajahnya memanas—bukan hanya karena asap rokok, tapi juga karena ketidakberdayaannya menghadapi Erick.
Samantha menatap Erick dengan kemarahan yang menggelegak di matanya. "Jangan sekali lagi, Erick! Kau pikir ini tempat main-main? Apakah kau sengaja datang ke sini untuk membuatku marah?"
Erick hanya mendengus. "Sebenarnya aku cuma mau ambil sempak ini. Tapi, ternyata kamu lebih suka meributkan hal-hal kecil."
Keduanya saling menatap, kedekatan mereka membuat suasana semakin intens. Erick tampaknya bertekad untuk tetap bersikap tidak peduli, sementara Samantha hanya bisa menatap dengan tatapan tajam.
"Jangan coba-coba terus, Erick," ucap Samantha, mencoba menahan emosinya. "Kalau kau tidak pergi sekarang, aku akan memanggil keamanan!"
"Pergilah, Erick, atau aku akan menganggapmu sebagai tamu yang tidak diundang dan mungkin sedikit aneh," ucap Samantha sambil menoleh ke arah pintu balkon yang tertutup, seolah-olah ingin menegaskan pernyataannya.
Erick membuang nafsu marah dan menarik napas panjang. "Baiklah, aku pergi. Tapi ini belum selesai."
Samantha melihat Erick meninggalkan balkon dengan langkah cepat, meninggalkan aroma rokok dan celana dalam yang masih tergeletak di sana. Dia mengelap keringat dari dahinya dan mengambil rokok terakhir dari bungkusnya.
Samantha melanjutkan ke balkon, meraih celana dalam itu dan melemparkannya dengan keras ke arah Erick yang sudah berada di balkon sebelah. "Hei, ambil sempakmu dan pergi jauh-jauh!"
Erick menangkap celana dalam itu dengan malas, lalu mengangkat tangannya sebagai tanda permintaan maaf yang sangat tidak tulus. "Oke, oke. Aku pergi. Tapi ingat, ini bukan akhir dari semuanya."
Ketika Erick akhirnya menghilang dari pandangan, Samantha menutup pintu balkon dengan kasar dan berdiri di sana, meresapi suasana yang kembali tenang. Dia menghela napas dan menatap celana dalam yang masih tergeletak di balkon, merasa campur aduk antara marah dan geli.
YOU ARE READING
PRAKASA ASTI [ON GOING]
RomanceTerang itu selalu ada, meski kini mungkin belum terlihat oleh mata. Namun, kelak sinar yang kita dambakan akan menyapa, membawa harapan dalam setiap cahayanya.