"Git, kamu masih ingat dengan rencana pindah kost yang pernah kubicarakan?" tanya Samantha dengan tenang, mengaduk minuman Ice Americano di depan kafe 'Prakasa Asti', sambil menatap sedotan dengan ekspresi yang penuh makna.
Gita, yang sedang menikmati sepotong tart, terperangah. "Ha! Sam, jadi kamu benar-benar pindah? Aku harus bagaimana sekarang? Biasanya aku tidur di kosmu sebelum pulang. Di mana aku akan parkir mobilku? Di kampus harus pakai kartu parkir dan bayarnya mahal. Jangan pindah, ya. Aku jadi harus menumpang di mana nanti?" ucapnya dengan nada dramatis, matanya melebar karena terkejut.
Samantha tertawa kecil, menggelengkan kepalanya. "Jangan-jangan kamu selama ini berteman denganku karena kostku dekat kampus? Parah banget, kamu jadi teman?"
"Iya dong... eh, maksudku enggak," balas Gita, berusaha meralat ucapannya.
"Jadi serius nih, kamu berteman denganku hanya karena itu? Speechless," Samantha menatap Gita dengan mata terbelalak, seolah tak percaya.
Gita tersipu, lalu berusaha mengalihkan pembicaraan. "Ehem... Memangnya kamu bakal pindah ke mana? Dekat nggak dari kampus, biar aku bisa sering main."
"Enggak jauh kok. Naik bus kota cuma lima menit. Di depan apartemennya ada bus stop, jadi praktis. Harga sewanya juga hampir sama dengan kostku sekarang, tapi lebih aman dan tenang. Kamu tahu sendiri, kostku sering ramai tamu, terutama malam minggu," jelas Samantha.
"Nama apartemennya apa?" tanya Gita, sambil melahap potongan terakhir tartnya.
"Britny's Aparts. Aku rencana nyewa di kelas D1, makanya harganya masih terjangkau. Lebih ramah daripada kostku yang sekarang."
"Oh, Britny's Aparts. Setahuku ada kelas ABCD, dan kelas A itu penthouse. Kenapa nggak ambil penthouse sekalian?" Gita menggoda.
Samantha menepuk dahi Gita pelan. "Kan sudah bilang ambil kelas D1 karena harganya hampir sama dengan kostku sekarang. Jangan ngelawak deh."
Para pengunjung kafe menoleh sebentar mendengar suara mereka, dan Samantha menyembunyikan wajahnya karena malu. "Maaf, berarti aku bisa sering main ke sana dong?" tanya Gita.
"Kalau aku bilang tidak pun, kamu tetap akan nyelonong masuk," jawab Samantha, menyeruput minumannya dengan gaya santai.
"Ya sudah, sabtu nanti bantu aku angkut barang. Jangan sampai nggak datang," kata Samantha dengan pandangan tajam penuh ancaman. Gita hanya bisa tersenyum ketus sambil mengunyah tartnya dengan penuh semangat. Tak lama kemudian, mereka pun keluar dari kafe tersebut.
"Sudah bang, mereka sudah pergi," bisik seorang pria di dekat pintu masuk kafe.
"Bagus," jawab pria itu sambil menghela napas lega.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Tit...tit...tit..." suara mobil Ayla tengah mundur.
"Lagi...lagi...dan...stop," ucap seorang gadis yang tengah membantu temannya memarkirkan mobil Ayla tersebut.
Supir dari mobil itu pun turun. Mereka berdua mengisi bagasi dan bangku belakang mobil itu dengan barang-barang yang akan mereka bawa pindah. Ya, ini memang seperti pindahan.
"Masih ada lagi nggak barang-barangnya?" tanya gadis berkaos pas badan dengan rambut yang digulung tinggi menjulang ke atas, menyisakan banyak anak rambut, kepada gadis yang mengenakan jaket hoodie hitam dengan rambut panjang yang diikat asal."Kayaknya nggak ada lagi deh. Kamarnya udah kosong. Tunggu bentar, mau pamit sama ibu kost dulu," jawab gadis itu kepada temannya yang langsung duduk di bangku pengemudi.
"Udah Git, cus gas pasang playlist kaya biasa," ucap gadis itu yang baru saja berpamitan dan duduk di samping bangku pengemudi.
Gita melajukan mobilnya keluar dari gang itu dengan playlist yang mengalun keras. Mereka berdua sesekali menyanyikan lirik dengan gestur heboh.Tak berselang lama, mobil Ayla silver itu memasuki area basement apartemen tersebut.
"Woah Sam, barang kamu banyak amat nih. Pergi minjam troli sana atau apa kek sama satpamnya," ucap Gita ketika melihat banyak barang yang perlu diangkut ke apartemen Samantha yang ada di lantai 8 gedung ini.
Gedung ini memiliki L G dan 22 lantai, dengan lantai satu terdapat supermarket dan food court, lalu dari lantai 2 sampai 8 adalah kelas D. Samantha ada di kelas D1, yaitu apartemen yang berada tepat di bawah kelas C dan ada taman di kelas itu sebagai tanda perbatasan antara kelas C dan D. Apartemen Samantha sedikit lebih luas dari kelas D lainnya, dan setiap perbatasan kelas memiliki taman. Khusus kelas A ada lantai khusus olahraga seperti badminton, renang, pingpong, dan kafe.Samantha pun datang dengan troli yang ia pinjam. Mereka mengisi troli yang berbentuk troli hotel tersebut dengan dua koper besar, satu kardus besar, serta bantal dan selimut yang ditumpuk di atas. Barang-barang kecil lainnya dipegang oleh Gita, sedangkan troli yang sedikit susah didorong karena berat didorong bersama oleh Samantha dan Gita hingga akhirnya mereka memasuki lift dan menekan tombol delapan.
"TING!"
Pintu terbuka lebar. Gita meletakkan barang-barang bawaannya di luar lift dan membantu Samantha mendorong troli itu keluar. Mereka tiba di apartemen D105 yang menghadap langsung ke kota.
"Udah ya, barangnya udah aku antar. Aku mau malam mingguan, bye," ucap Gita."Eh, sekalian bawa trolinya ke bawah dong, manis," ucap Samantha dengan tatapan genit.
"CKK."
Tak lama kemudian, Gita keluar dengan membawa troli itu bersamanya. Sementara Samantha menekan tombol AC. Ia sedikit lelah untuk berbenah sore ini; ia akan melakukannya nanti malam atau esok.
Ia membuka kasar jaket hoodie hitam itu karena panas, menyisakan tanktop hitam yang membentuk lekuk tubuhnya, dan celana training yang dipakai hanya sampai pinggul. Perutnya tidaklah terlalu buncit, dan ia tidak peduli dengan lengannya yang sedikit besar. Toh, tidak ada yang melihat. Ia juga melepas jedai yang ada di rambutnya dan pergi ke arah tas kecilnya, lalu mengeluarkan sebuah mancis dan benda kecil berbentuk silinder panjang.
Dengan rambut hitam legam panjang tergerai, berpakaian tanktop dan celana training abu-abu panjang, Samantha berjalan ke balkon kamarnya. Tangan kanannya yang dibalut perban menyematkan benda kecil itu di bibirnya, dan tangan kirinya menyalakan api agar benda kecil itu terbakar di mulutnya. Ia bertumpu pada pembatas balkon, melihat macetnya kota ini di sore hari.
"Whoosh..." Asap pun keluar dari mulutnya, terhembus ke atas. Ia menggaruk kasar kepalanya. Kali ini, beban pikirannya benar-benar berat. Tangannya butuh satu bulan lagi agar perbannya bisa dibuka. Ia sengaja melepas gipsnya karena berat, sehingga harus lebih berhati-hati memakai tangan kanannya ini. Orang tuanya belum tahu sama sekali tentang kecelakaan itu, dan teman sekelompoknya hampir tidak menyadari keberadaannya. Lalu ada sosok pria dengan mulut tajam itu, serta teman lamanya yang sampai hari ini belum membayar hutang seharga uang apartemennya per bulan. Setiap ditagih, temannya lebih galak dari pemberi hutang. Belum lagi ujian blok yang belum ia pahami sepenuhnya.
Ia benar-benar tak punya teman selain Gita. Ia bingung ingin minta tolong kepada siapa, sementara Gita akhir-akhir ini sudah mulai lebih sering dengan teman sekelompoknya.
Biasanya, ketika mendekati ujian, ia dan Gita akan membahas contoh-contoh soal dari kakak Gita yang merupakan senior di jurusan mereka yang sekarang koas.
Samantha kembali mengisap dalam-dalam batang rokok itu, tubuhnya yang hanya dibalut tanktop dan celana training memancarkan aura kelelahan dan keputusasaan. Ia melepas handplas di tengkuknya dengan kasar, menyingkap sebuah tulisan.
Dengan napas berat, ia menghembuskan asap ke atas. Di depannya, sosok pria shirtless dengan tato-tato yang menari di tubuhnya berdiri di balkon seberang, tatapannya tajam dan fokus pada Samantha. Pria itu tak mengalihkan pandangannya, seolah menunggu sesuatu.
Samantha belum menyadari siapa sebenarnya sosok pria yang sedang melihatnya dari balkon atas kiri itu. Ia tetap menghembuskan asap rokoknya ke atas dengan senyum sinis mengejek karena kesal di tatap begitu,Ia mengisap kembali benda kecil itu dengan dalam dan memayunkan bibirnya mengeluarkan asap itu ke atas hingga asap itu berhembus ke arah balkon yang ada tepat di samping kiri atasnya.
Saat asap itu keluar sepenuhnya seketika ia membeku melihat pria itu yang masih tetap saja memandangnya dengan tatapan yang dingin dan tak bisa diartikan apa maksud dari tatapan itu
YOU ARE READING
PRAKASA ASTI [ON GOING]
RomanceTerang itu selalu ada, meski kini mungkin belum terlihat oleh mata. Namun, kelak sinar yang kita dambakan akan menyapa, membawa harapan dalam setiap cahayanya.