विस्मय (vismaya)

4 0 0
                                    

Jarum jam dinding telah menunjukkan pukul 09.00, dan seorang gadis hanya bisa merenung melihat ke arah luar jendela. Ia bisa melihat ambulans yang masuk ke area rumah sakit.

Ia setia memegang sebuah jeruk dan sebuah pisang, berharap sosok yang ia tunggu akan segera masuk ke ruangan ini. Hanya dia sendiri yang masih terjaga di ruangan ini, bersama seorang wanita paruh baya yang tertidur. Mereka hanya berdua karena ada yang sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.

"Kamu di mana?" batinnya sedih sambil memandang kedua buah di pangkuannya. Ia sudah sangat sengsara hari ini, harus menahan kandung kemihnya lama hingga ada perawat yang datang mengantar makan malam. Barulah ia bisa meminta tolong untuk dipapah ke toilet.

Namun, di balik kesengsaraan itu, ia sudah bisa berbicara kembali walaupun masih terbata-bata. Ini berkat sang wanita paruh baya yang brankarnya tepat di depan brankarnya, memutar volume TV kuat-kuat untuk menonton sinetron seharian.

"Srukk..." Pintu ruangan tersebut tergeser pelan. Samantha dengan semangat menoleh ke samping, tapi ternyata itu hanya ulah anak kecil yang iseng yang langsung dimarahi ibunya dan menutup kembali pintu ruangan tersebut.

"Hushhh," Samantha menghela napas pelan dan kembali melihat keluar jendela. Ia tidak sadar sosok yang ditunggu-tunggu olehnya memasuki ruangan dan berjalan hati-hati mendekati brankarnya.

"Oii," suara bass itu adalah suara yang ditunggu-tunggu olehnya. Ia langsung menoleh ke sumber suara. Di balik cahaya yang remang-remang, ia bisa melihat sosok pria dengan kacamata dan hoodie hitam, memegang sebuah goodie bag.

"Erick? Kok dia di sini? Atau jangan-jangan memang pria yang tadi itu Erick? Atau apa? Gimana? Aku? Siapa? Eh, kok aku bingung sendiri," batin gadis itu bingung hingga kalimat di batinnya terbelit-belit.

"Hey, kenapa melamun?" tanya pria itu lalu duduk di samping gadis itu sambil meletakkan goodie bag di atas pangkuan gadis itu.

"Ini apa ya?" tanya gadis itu ketika melihat goodie bag di atas pangkuannya.

"Wah, kamu sudah bisa ngomong ternyata. Aku sempat sengsara mau gimana," ucap Erick penuh syukur karena gadis ini sudah bisa berbicara. Artinya, ini adalah malam terakhir dia berjumpa dengan gadis itu. Dia terlihat senang, tapi apakah ini memang senang karena akhirnya bebannya berkurang atau memang ada sesuatu yang mengganjal, ya?

"Eh iya, aku sudah bisa bicara," jawab gadis itu sambil tersenyum, lalu menyodorkan buah yang ia sembunyikan dengan tangan kirinya ke arah pria itu.

"Banana?" batin pria itu.

"Maaf, tangan kiri ya," ucap gadis itu sambil tersenyum kikuk.

"Eh, iya nggak papa," ucap pria itu sambil menerima pemberian gadis itu lalu mengantonginya di hoodie.

"Astaga, seharusnya kau menolaknya, Erick. Dasar tubuh ini suka-sukanya saja," gerutu Erick dalam hati.

"Eh, ini ponsel aku? Kamu perbaiki ya?" kaget Samantha melihat ada ponselnya yang sudah bisa menyala di dalam goodie bag tersebut.

"I-iya, tadi aku pergi ke toko ponsel. Katanya cuma lowbat doang, jadi di-charge bentar tadi sama orang tokonya. Eh, itu tadi aku beli asal di depan," jawab Erick sedikit kaku sambil menunjuk ponsel dan setelan baju yang dikeluarkan Samantha dari goodie bag tersebut.

"Kamu baik banget sama aku. Kalau boleh tahu, nama kamu siapa ya?" tanya Samantha untuk memastikan isi otaknya yang selalu terisi nama Erick.

"Dia nggak tahu?" batin Erick sedikit sedih.

"E-Erick," jawab Erick kaku.

"Owhh, Erick. Aku kira aku salah orang. Awalnya saat lihat wajahmu kemarin, aku langsung terpikir kamu Erick, tapi karena... eh, makasih banyak," ucap Samantha sambil memperhatikan kata-katanya agar tidak salah omong.

"Eh, namaku kenapa kamu buat Jubaedah sih?" tanya Samantha karena nama Jubaedah benar-benar sangat out of the box untuk Erick yang merupakan satu kelas dengannya tapi membuat nama itu.

"Aku lupa namamu," ucap Erick datar.

"Samantha," ucap Samantha sambil menyodorkan tangan kirinya untuk berjabat tangan, tapi Erick hanya melirik tangan itu.

"Eh, maaf tangan kiri nggak sopan ya. Eh, boleh bagi nomor rekening kamu biar aku transfer biayanya," ucap Samantha sedikit kikuk akibat tingkahnya yang ceroboh. Ternyata pria ini memang orang yang dingin, ya.

"Nggak perlu, aku mau pulang ada urusan," ucap Erick sambil berdiri.

"Eh, tunggu dulu. Kamu beneran nggak mau di tebus? Ini terlalu baik lo," ucap Samantha meyakinkan Erick akan tingkahnya yang menolak Samantha.

"Iya, besok kamu sudah bisa pulang. Cukup sampai sini. Urusanku sudah banyak yang tertunda," ucap Erick yang ingin sekali keluar dari ruangan itu menjumpai dokter umum karena ia merasa sesak di dadanya.

"Oh, gitu ya. Berarti besok pagi kamu nggak ke sini ya?" tanya Samantha.

"Iya," jawab Erick.

"Sekali lagi, makasih banyak ya, Erick. Maaf ya, ngerepotin kamu," ucap Samantha tulus. Perlakuan Erick itu dimata Samantha adalah perlakuan yang tidak akan dilakukan orang lain kepadanya mengingat dirinya yang kecelakaan. Orang-orang tanpa wajah hanya merekamnya dan menanyainya terus, hanya dia yang datang menolongnya.

"Ya," balas Erick lalu keluar dari ruangan itu dan tergesa-gesa menuju IGD menjumpai dokter yang ternyata adalah dokter yang memantau kondisi Samantha selama ini.

"Dok, dok," panggil Erick ketika melihat dokter itu tengah berdiri memegang sebuah rekam medis.

"Ada apa ya?" tanya dokter itu.

"Ini dok, saya sesak," jawab Erick lalu segera dituntun dokter itu ke brankar dan seorang perawat datang memeriksa tanda vital Erick. Semuanya normal, denyut jantung normal, pernapasan normal, denyut nadi normal, semua benar-benar normal.

"Hasil pemeriksaan semua normal. Kamu hanya perlu istirahat saja. Jika kejadian itu terus berulang, segera datang ya," ucap dokter lalu pergi.

"Ada-ada saja," batin dokter itu lalu menuju pasien yang lain.

Erick merogo kantong hoodienya, ia bisa merasakan keberadaan buah jeruk dan "Banana" buah kesukaannya.

"Ini semua tidak masuk akal" batinnya lalu berjalan ke luar ruangan dan membuang pemberian gadis itu ke tempat sampah dengan kasar yang ada di pintu masuk.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Elerick, pria yang keberadaannya jarang diketahui orang di kelasku, selalu mendapat nilai sempurna. Dari mana aku tahu? Tentu saja karena aku tidak pernah melihatnya mengulang ujian untuk kedua kalinya. Setiap ujian, dia selalu duduk di ruang sebelah yang sejajar denganku. Ruangan itu hanya dibatasi oleh kaca dan lorong kecil, jadi aku bisa melihatnya meskipun aku tidak selalu memperhatikannya.

Aku hanya tahu nama dan lokasi duduknya saat ujian karena berseberangan denganku. Dia dingin dan kaku, tapi ternyata dia orang baik yang menolongku. Dan ternyata dia punya TATTOO!?!?!

Jujur, aku tidak menyangka bahwa orang bertato yang menolongku ternyata benar-benar Erick. Berkat dia, aku bisa dirawat di rumah sakit dan kini bisa pulang.

Barangku tidak banyak, hanya tas kulitku dan diriku yang malang dengan lengan kananku yang digips, memakai kaos abu-abu dan celana training hitam tanpa alas kaki. Tangan kiriku memegang sneakers Clonterse, dan aku hanya bisa berjalan dengan sedikit bantuan crutches.

Dengan penampilan menyedihkan ini, orang yang ada di pintu rumah sakit ini mungkin mengiraku pengemis atau apalah jika bajuku tidak terlihat baru. Aku akui, seleranya bagus—baju unisex.

Wah, akhirnya driver yang kutunggu-tunggu datang. Aku pun segera masuk ke taksi online yang kupesan beberapa menit yang lalu. Akhirnya, aku bisa pulang. Yeay! Tapi aku bakal sangat kesulitan sendiri nanti.

Arghhh... sialan deh, ayo tahan saja dulu. Dua minggu lagi perban di kaki ini bakal bisa dilepas, kok.

PRAKASA ASTI   [ON GOING]Where stories live. Discover now