Aku sudah dua minggu masuk kampus, dan perban di kakiku sudah bisa dibuka karena kakiku sudah sembuh. Kini hanya tanganku saja yang masih digips. Saat aku masuk kampus hari pertama kemarin, beberapa temanku kaget mengetahui bahwa gadis viral yang kecelakaan di TikTok ternyata aku. Tapi aku tidak mengambil pusing. Bagi Erick, semua itu terlihat seperti tidak pernah terjadi, dan aku tidak memiliki keberanian untuk bicara langsung dengannya di kelas.
"Baik, karena ini awal semester lima, bagaimana jika kelompok praktikum ditukar saja?" tanya sosok dosen wanita yang merupakan koordinator blok kami. Seketika, mahasiswa yang mendengar usulan dosen itu mulai menggerutu.
"Ayolah, apakah kalian tidak ingin suasana baru? Tidak ada penolakan. Esok pagi, pengurus kelas akan mengirim file daftar kelompok," ucap dosen itu lalu meninggalkan ruangan tersebut."Ishh, dosen ini aneh banget, tahu. Kenapa tiba-tiba ganti kelompok?"
"Aku sudah terlanjur nyaman."
"Huhu.. kita berpisah, bestie."
Aku bisa mendengar banyak orang yang menggerutu, tapi aku tidak ambil pusing. Toh, aku tidak punya teman dekat di kelompokku. Bicara soal nyaman dengan kelompok itu... ehmm... entahlah. Aku biasa saja, selama kelompok itu mau bekerja sama, aku tidak peduli. Yang penting tugas selesai, bukan? Itu hanya kelompok praktikum saja.
"Ihhh, aku nggak mau ganti kelompok," gerutu Agita sambil meletakkan wajahnya di meja bangkuku.
"Kenapa, Git?" tanyaku.
"Terlanjur nyaman dengan kelompok sebelumnya, lo," jawabnya. Aku hanya bisa ber-ohria walaupun sebenarnya aku tahu bahwa dia sedih berpisah dengan crush-nya. Hahaha.Dua hari telah berlalu, dan pagi ini daftar kelompok akan dibagikan oleh pengurus kelas.
"Baik teman-teman, daftar kelompok akan dibagikan, dan daftar kelompok itu juga yang akan menjadi kelompok diskusi," ucap sosok pria berkacamata di depan kelas.
Tapi tunggu dulu, kenapa kelompok diskusi juga diganti? Oke, aku tarik omonganku sebelumnya. Aku sudah terlanjur nyaman dengan kelompok diskusiku...Ya, bagaimana tidak nyaman? Buat orang pemalas seperti diriku yang tidak banyak berperan di kelompok, itu membuatku tidak perlu banyak berpikir. Selain itu, ada Agita di kelompok itu, teman yang membuatku nyaman.Aku bisa mendengar banyak sekali mahasiswa yang mengeluh, dan keluhan itu lebih banyak daripada yang terakhir kali dosen umumkan. Aku salah satunya yang ikut mengeluh.
"Sam, kita berpisah. Hu..hu.." Agita sedih sambil memeluk lengan kiriku secara dramatis.
"Astaga, lebay banget sih. Tapi jujur, aku sedih juga," ucapku sambil berusaha melepaskan lenganku dari pelukannya. Namun, dia semakin erat memeluknya.
"Ihh, nggak mau pisah," ucapnya lagi dengan dramatis.
"Yang tidak terima langsung saja ke kantor menjumpai koordinator blok," tegas pengurus kelas sambil menegakkan kacamatanya. Seketika kelas hening, dan tidak ada satu pun mahasiswa yang berani beradu argumen dengan koordinator blok mereka yang galak itu. Bisa-bisa mereka diulek kalau protes.
"Oke, bisa dilihat sekarang di grup. Sekretaris sudah mengirim daftarnya," ucap pengurus kelas lalu kembali duduk ke bangkunya. Semua orang kini fokus ke ponsel masing-masing.Aku bisa mendengar ada suara senang dan sedih dari mahasiswa ketika melihat daftar nama kelompok itu.
"Ih, Sam, kita pisah. Aku kelompok lima, kamu kelompok satu," ucap Agita dengan sedih.
Oke, sekarang aku sedikit sedih mendengar bahwa kami berpisah
"Pinjam ponsel kamu bentar," ucapku sambil mengambil ponselnya karena aku malas membuka ponselku.
"Halahh, bacot kamu. Kamu aja satu kelompok sama crush-mu," ucapku ketika melihat siapa saja teman sekelompoknya."Hehehe... tapi sedih juga tahu, kita nggak sekelompok lagi," ucapnya. Aku kembali menggulirkan layar ke atas melihat siapa saja yang sekelompok denganku.
Ya, lumayanlah. Aku bisa menjadi beban mereka. Ternyata sekelompokku orang-orang yang terkenal pintar di kelasku. Dan what!?? Aku dan Erick sekelompok? Tunggu dulu, daftar nama kelompok ini mirip dengan daftar kelompok semester satu yang dulu.
"Eh, Git, kok daftar kelompoknya mirip sama daftar yang semester satu, ya?" tanyaku sambil menyodorkan ponsel miliknya.
"Eh, iya. Mirip juga, ya," ucapnya sambil menerima ponsel itu.
Aku pun mencoba melirik ke depan melihat wajah teman sekelompokku dan ke belakang.Brrrr... aku sedikit merinding melihat Erick. Tatapannya sangat tajam. Aku pun langsung menunduk dan kembali menatap ke depan.
YOU ARE READING
PRAKASA ASTI [ON GOING]
RomanceTerang itu selalu ada, meski kini mungkin belum terlihat oleh mata. Namun, kelak sinar yang kita dambakan akan menyapa, membawa harapan dalam setiap cahayanya.