BAGIAN - 50

88 7 12
                                    

“Ayo dong, gak usah takut,” bujuk Seina agar Nathan mau berdiri setelah memakai sepatu rodanya.

Namun gelengan ragu yang gadis itu selalu dapat setelah beberapa saat melakukan berbagai rayuan untuk memberikan rasa percaya diri pada Nathan. “Lagian kalo jatoh juga ke bawah, kan? Gak ada yang perlu ditakutin, masa kalah sama Diva, sih?”

Nathan mengikuti arah tunjuk Seina, di sana dengan riangnya Diva sudah lancar melangkahkan kakinya kesana-kemari dengan sepatu roda empatnya. Meski diselimuti rasa takut dan ragu yang berlebihan, Nathan mencoba menetapkan hatinya untuk memberanikan diri dan meraih kedua tangan Seina.

Seharusnya Nathan kini berbahagia karena kejadian langka ini terjadi, tetapi tawa Seina sekarang memang benar-benar definisi di atas penderitaannya.

Sejak kecil Nathan tidak pernah yang namanya bisa mengenakan sepatu payah yang dipakainya sekarang sebagaimana dengan fungsinya. Belajar naik motor tidak sebanding susahnya dengan bermain sepatu roda, Nathan bersumpah demi apapun.

“Abang kalo gak berani bobo aja sana!” teriak Diva penuh ejekan.

“Awas—”

“Diva gak boleh gituu,” tegur Seina yang dibalas cengiran oleh anak SMP itu. Seina tetap dalam pendiriannya ingin mengajarkan Nathan hal yang selama ini menjadi kelemahan cowok itu. “Ayo coba jalan, gue bakal tuntun terus.”

Seina tersenyum tipis menatap Nathan yang sudah berkeringat mencoba mengalahkan ketakutannya untuk melangkah. Yaa, Seina cukup kagum dengan tekad cowok di depannya ini.

Seiring banyaknya langkah yang diambil, genggaman Nathan juga semakin kuat, seakan takut bila dilepaskan oleh Seina sewaktu-waktu.

Lingkungan sekitar rumah Nathan sangat nyaman, sinar matahari tidak terlalu terik karena ada begitu banyak pohon di sepanjang jalan. Seina jadi bernostalgia apabila berkunjung ke rumah Nenek nya yang memiliki suasana seperti ini di masa kecil.

“Iya kayak gitu, terus.” Tuntun Seina senang, karena kaki Nathan tak sekaku tadi yang seperti diberi lem. Bergerak saja susahnya seperti mau confess. “Jangan liat ke bawah kalo gak mau jatoh.”

“Gak mau,” tolak Nathan, tetap menunduk melihat kakinya dan Seina yang terus bergerak dibawa oleh roda.

“Kenapa?”

“Salting.”

Sudut bibir Seina terangkat sedikit, geli. Nathan yang berbicara, tetapi Seina yang malu mendengarnya. “Gak jelas lo.”

“Eh, serius lho.”

“Emang salting kenapa?” tanya gadis itu terkekeh sambil menggelengkan kepala, seolah ucapan Nathan tak masuk akal sama sekali.

Namun ketika Nathan menuruti apa maunya dengan tidak menunduk, Seina mengerjapkan mata cepat karena netra keduanya kembali bertubrukan. Raut tak main-main dari wajah cowok itu membuatnya tak nyaman.

“Akseina, lo itu cantik.”

Bruk

“Abang!”

Meski Diva adalah sosok adik yang kelihatan durjana, tetapi gadis mungil itu tidak akan pernah membiarkan kakak nya sendiri terluka. Jadi saat dirinya melihat bagaimana Seina menghempaskan Nathan yang tak memiliki keseimbangan baik hingga terjatuh, Diva dengan kecepatan penuh menghampiri keduanya begitu khawatir.

Ketua Kelas [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang