BAGIAN - 32

195 9 0
                                    

•••

Seina mengulum bibir berusaha menahan segala senyum juga teriakannya yang ingin segera ia lepaskan, karena melihat bagaimana tim yang hanya ia semangati dari hati meraih point yang lebih unggul.

Berbanding terbalik dengan Aiden di sebelahnya yang mendesah kesal karena sekolahnya mendapatkan kekalahan.

“Ah, payah banget. Gue ke kantin dulu aja lah. Mau nitip apa, Na?”

“Air putih aja, yang dingin tapi,” jawabnya diangguki oleh cowok yang masih cemberut itu.

Kepergian Aiden membuat tingkah Seina yang sedari tadi berusaha ia tahan keluar begitu saja. Ia bahkan kini harus menepuk-nepuk kedua pipinya untuk menyeimbangkan perasaannya yang tiba-tiba berbunga-bunga ini.

Oh ayolah, kenapa bisa jantung yang dimilikinya selama hampir 14 tahun ini baru berdetak secepat ini hanya karena melihat seorang anak laki-laki? Padahal sudah setiap hari Aiden berada di sisinya layaknya kuman yang menempel.

“Jatuh cinta gak sih namanya?” tebaknya seperti orang kehilangan kewarasan, karena senyumnya tidak pernah luntur sedikitpun.

Untuk pertama kalinya Seina bisa sesenang itu hanya melihat anak laki-laki yang sama sekali tak ia kenali. Rambutnya yang selalu tuing-tuing ketika berlari mengejar bola, bagaimana dia mencetak point, poni yang hampir menutupi mata dan senyumnya yang amat manis. Seina bisa mati terkena serangan diabetes hanya karena itu semua.

Tubuhnya terasa mematung karena orang yang ia sukai hanya dalam waktu singkat itu melewati Seina bersama anggota timnya yang lain. Kedua lutut Seina terasa melemas hanya karena dapat melihat wajah bagian samping cowok itu sedekat ini, bahkan aroma tubuhnya tetap wangi di saat sudah penuh keringat.

“Pantes semua cewek di sini pada suka, dia emang ganteng banget, sih.

DEVAN! JANGAN LARI DONG! TUNGGU!”

Seina melirik ke belakang di mana gerombolan anak perempuan sekolahnya seperti nyamuk yang mengintili mangsanya di atas sana. Gadis itu terkekeh ketika melihat Devan berusaha untuk menghindar dan mempercepat langkahnya, cowok itu pasti merasa sedang dikejar oleh Tante girang.

Tetapi tawa kecil Seina tidak berlangsung lama, karena wajahnya sekarang menjadi menegang melihat bagaimana tubuh Devan terguling di tangga tribun akibat terkilir di depan matanya sendiri.

Orang-orang tentu saja langsung berkerumun untuk menolong lelaki malang korban kefanatikan itu. Tak terkecuali Seina yang dengan tubuhnya yang masih terbilang pendek berusaha berjinjit untuk melihat keadaan Devan.

“Eh?” Dirinya mengerutkan alis ketika merasakan kakinya menginjak sesuatu. “Ini topi yang dia pake tadi kan?”

Senyum Seina kembali merekah ketika Devan yang tengah dibantu untuk berdiri oleh dua pria dewasa tak sengaja melirik ke arah dirinya yang melambaikan topi di tangannya.

Tetapi keberuntungan saat itu tak berpihak kepada Seina sama sekali, karena selama itu ia tak pernah mendapat kesempatan untuk mengembalikan topi ini atau sekedar melihat wajahnya lagi.

“Agak capek juga nyari lo kemana-mana selama ini, dan setelah ketemu malah sok cuek dan biasa aja kalo di deket lo lama-lama.”

Seina tetap memusatkan pandangannya ke bawah, melihat bagaimana telatennya Devan yang tengah melipat bendera pagi ini. Hatinya sedikit tercebik melihat Karisa yang nampak berusaha menahan senyum ketika memegang ujung bendera, membuat keduanya berhadapan.

Ketua Kelas [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang