BAGIAN - 51

84 8 10
                                    

_____

Morning Tante cantik!”

Renata tertawa gemas, baru saja Bi Imah membukakan gerbang untuk keluar membeli sayur, Nathan sudah menyambut kedua wanita itu dengan senyumnya yang lebar. Anak ini benar-benar mewarisi ciri fisik ibunya, Anyelir.

“Seina nya ada?”

“Ad—”

“Kenapa? Kangen?” tanya Seina sewot, gadis yang mencepol rambutnya ke atas itu bertengger di sisian gerbang menatap Nathan dengan menyipitkan mata.

Ditodong pertanyaan seperti itu tentunya Nathan mengangguk penuh semangat. Tidak peduli jika peluhnya terus mengalir membasahi wajah karena usahanya menghampiri Seina ke sini hanya menggunakan sepeda yang ia kayuh dari rumah.

Renata dan Bi Imah saling memandang satu sama lain dengan menutup mulut. “Uuuu.”

“Yaudah, Tante tinggal beli sayur di situ dulu, ya? Kalo sempet mainnya agak lama aja. Kita makan bareng-bareng masakan buatan Tante,” kata Renata diberi acungan dua jempol oleh Nathan. “Oh ya, Sei... jangan galakkin anak temen Mama, lho!”

Dalam posisinya yang masih bersidekap dada, Seina mendelik malas mendengar pesan Mama nya sebelum melenggang pergi.“Iya, iyaaa.”

“Terus lo ke sini mau ngapain? Gue mau joging ini,” ujar Seina yang malah membuat Nathan makin melebarkan senyum. Melihat cowok itu Seina jadi takut apabila Nathan akan mengalami kram otot, apa tidak lelah tersenyum terus sepanjang hari?

“Yaudah, bareng aja! Mau dibonceng nggak?”

Wajah segar Seina yang masih basah berubah sedikit masam karena sudut bibirnya menarik senyum penuh arti. “Gini ya, James Nathaniel bapak ketua kelasku yang terhormat. Gue ini mau joging, lari pagi pake kaki. BUKAN PAKE BAN!”

Namun ketika mata gadis itu lebih jauh menelisik Nathan yang nampak seperti bocah SMP karena menaiki sepeda pendek, satu tangannya mengusap dagu. Sok berpikir.

“Tapi kayaknya sepedaan bukan ide buruk sih,” ujarnya penuh ketidakpastian. “Coba lo turun bentar!”

“Iya, terus gimana?” tanya Nathan menunggu instruksi berikutnya dari Seina setelah dirinya turun dari kendaraan beroda dua itu.

“Giliran gue dong!”

Nathan melongo, sebenernya dirinya yang belum kenal Seina, atau gadis itu yang memang tidak dapat diprediksi apa maunya?

“Lo mau ikut atau planga-plongo doang?”

“Gue?” Nathan menunjuk dirinya bingung.

“Iyalah, ayo naek!”

Mengerjapkan mata cepat, lalu menahan diri tidak menyentuh kening Seina untuk memastikan apakah gadis itu sehat atau tidak. “Gue berat lho....”

Saat pernyataan padatnya terucap, Nathan merasa lututnya bergerak tak nyaman melihat respon tajam Seina setiap mengintimidasi lawan bicaranya. “Gue Jehanne kuat Akseina kalo lo lupa.”

Bukannya Nathan tidak percaya dengan stamina yang Seina miliki, namun rasanya agak malu saja harus melewati para ibu-ibu di depan sana jika dirinya dalam posisi berada di belakang Seina. Ini terbalik dengan apa yang dirinya inginkan!

“Woi, cepatan! Emang lo percaya kalo sepeda ini bakal balik utuh kalo gue bawa?!”

Mau tak mau, suka tidak suka, Nathan menuruti apa yang Seina mau. Satu tangannya bertengger pada bahu gadis itu sebelum satu kakinya naik pada pijakan di bagian ban belakang sepeda. Dan berulang hingga dirinya berdiri menjulang dengan kedua tangan memegang bahu Seina kuat.

Ketua Kelas [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang