BAGIAN - 52

114 8 20
                                    

Mendengar keributan dari luar rumah membuat Wenda yang masih mengenakan celemek dan membawa spatula bergegas keluar untuk memastikan. Dahinya yang sudah mulai berkerut seiring bertambahnya usia semakin tercetak jelas karena tontonan yang ia lihat sekarang.

“Tante kenapa harus sekasar itu, sih?!”

Lutut wanita itu bergetar, untuk pertama kalinya ia merasa begitu malu dan mempertanyakan cara mendidik anaknya.

“AIDEN, PULANG! MAU TETEP DI SITU ATAU NURUT SAMA MAMI?!”

Acara adu mulut di depannya seketika berhenti, putra bungsunya itu langsung berbalik badan dengan seorang gadis yang sudah Wenda kenal betul sebelumnya.

“Nata, ini semua sebenernya kenapa?” tanya Wenda, menuntut penjelasan pada wanita yang sampai mengeluarkan cairan dari kedua matanya itu.

“Aku nggak tau, Wen... lebih baik tanya sendiri sama anak kamu,” balas Renata singkat, mengusap kedua pipi berairnya sebelum melengos pergi masuk ke dalam kediamannya.

Seperti ada sebuah batu yang begitu mengganjal di dalam hati juga pikiran Wenda melihat Renata harus pergi dalam kondisi tak mengenakan seperti itu. Hampir tujuh belas tahun keduanya menjadi teman sekaligus tetangga, saling menguatkan, bertukar cerita satu sama lain, hingga hubungan baik itu diwarisi oleh anak-anak mereka.

Jadi ketika dengan mata kepalanya sendiri ia melihat bagaimana Aiden yang sudah Renata anggap anak sendiri bersikap seperti ini, Wenda tak mampu untuk berkata lebih banyak.

“Dara sayang, Tante mau bicara sama Aiden dulu, ya? Boleh, kan?” pinta Wanita itu lembut, penuh pengertian meskipun tidak dengan pikirannya yang kusut.

Walaupun masih dalam posisi cukup tegang, Dara tak memiliki pilihan lain selain mengangguk, mengiyakan.

“Mam, tapi—”

“Pulang!” potong Wenda cepat, tidak membutuhkan berbagai alasan yang Aiden katakan di sini.

Cowok itu mengambil napas berat, berbalik sejenak untuk melihat Dara yang masih terguncang di hadapannya setelah sang ibu masuk ke dalam rumah. Telapak tangan kanannya naik untuk menyentuh lembut pipi Dara dengan sorot sendu.

“Aku tinggal bentar, ya?”

Dara tersenyum simpul lalu ikut menyentuh punggung tangan Aiden yang berada di permukaan pipinya, mengangguk dan tersenyum tanpa beban. “Aku pasti tunggu.”

Itulah kalimat terakhir sebelum Dara benar-benar berdiri tanpa siapapun, bola matanya hanya mampu melihat punggung Aiden yang semakin lama menghilang di telan pintu.

Ia sendiri tidak mengetahui, kata tinggal yang dikatakan cowok itu akan berakhir dalam jangka waktu yang singkat atau sebaliknya. Namun, yang pasti ia tak akan pernah mengingkari janji.

“Dar?”

Beberapa meter dari posisinya, ada Nathan yang sedikit membungkukan tubuh karena memapah sepeda dengan keringat bercucuran di kening. Pemilik suara yang mengalunkan panggilan barusan.

Tetapi bukan sosok itu yang menjadi fokus Dara saat ini, melainkan seseorang di sampingnya,

Seina.

Gadis yang memakai sweater coklat lalu dipadukan dengan celana training hitam itu segera membuang wajah kala netra keduanya bersibobrok. Mengusap ujung matanya yang entah sejak kapan berair.

Dara menggigit bibirnya kuat-kuat, melihat Seina hari ini rasanya ia tengah melihat dirinya sendiri beberapa tahun lalu.

Harus mendengar saat-saat di mana dua orang yang paling dicintai lebih dari apapun harus berpisah, berada difase meninggalkan dan ditinggalkan... saat itu Dara benar-benar tidak bisa bereaksi seperti apa.

Ketua Kelas [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang