BAGIAN - 3

264 18 2
                                    

“Lauknya mau tambah lagi nggak, Mas?”

“Ah, nggak sayang. Ini juga udah cukup.”

Seina hanya memutar bola matanya, rasanya sangat memuakkan ketika harus melihat kedua orang tuanya 2 tahun belakangan ini bersandiwara di hadapannya. Seolah semua baik-baik saja, padahal semuanya sudah seperti vas yang jatuh, hancur. Dan tidak bisa ditambal lagi.

“Eum, satu minggu nggak di rumah aku kangen kamu. Sini aku suapin,” ucap Dito—Papa Seina, memberi satu suapan makanannya kepada istrinya, Renata.

Tlak

“Cukup!” Suara dentingan sendok yang dihempaskan ke piring kalah nyaring dengan suara Seina yang dingin tak bersahabat.

“Sayang, kenapa?” Renata cukup kaget dengan sikap Seina.

Seina adalah gadis pendiam, Dito dan Renata sedikit tertegun dengan suara putri semata wayang mereka dan perubahan raut wajahnya.

Seina mundur dan berdiri, membuat kursi yang sedari tadi ia duduki sambil menyaksikan drama orang tua nya tadi berderit keras. “Bisa gak usah sok drama di depan Seinga, nggak? Dipikir Seina nggak tau apa-apa gitu?!”

“Apa? Kenapa pada diem?” Tuntut Seina dengan tangan yang mengepal.

Dikiranya anak 17 tahun itu otaknya belum berkembang apa? Memang selama mereka bertengkar, telinga Seina tidak berfungsi?

“Say—”

“Papa kenapa si? Salah Mama tuh apa sih, Pa? Kenapa Papa tega selingkuhin Mama?” Bahu Seina rasanya jatuh, mengatakan hal itu benar-benar membuatnya merasa lemas.

Rasa kesal bercampur kecewanya malah membuat matanya banjir, ah lemah.

Dito tidak bisa berbuat apa-apa, ia mendekat dan memeluk putrinya itu. Perasaan bersalah langsung menyelimuti seluruh relung hatinya.

Di dalam pelukan Papa nya, Seina memukul-mukul dada Dito keras, melampiaskan semua kekecewaannya.

“PAPA JAHAT, PAPA TEGA, PAPA BODOH! KENAPA PAPA MALAH MILIH NINGGALIN BERLIAN KAYAK MAMA DAN MUNGUT SAMPAH KAYAK JALANG PELAKOR ITU HAH?!”

•••

Plak

Wajah Nathan tertoleh ke samping ketika satu gamparan keras dari buku yang dilayangkan Seina terkena wajah yang ia bangga-banggakan.

“Tangan lo minta diamputasi kah njing?!” Suara Seina menggelegar ke penjuru ruang kelas. Sontak semua perhatian tertuju kepada meja pojok mereka berdua.

Suasana hati Seina dari semalam begitu buruk, bagaimana bisa pipi mulusnya dengan keras ditampar begitu saja oleh manusia yang berstatus Papa nya. Hanya karena ia memaki wanita perusak rumah tangga itu. Biadab.

Dan kini, di saat jam pertama ia disuguhi oleh pelajaran matematika yang sungguh-sungguh menjengkelkan otak dan hatinya. Ia berusaha untuk menetralkan dan mengembalikan mood nya yang sudah hancur lebur dengan menutup kedua matanya, berusaha pergi ke alam mimpi.

Tapi dengan tak tau diri, ketua kelas yang kini menjadi teman sebangku nya yang suka carmuk ke guru itu sok-sok an membangunkan dirinya, berniat agar kelas hari ini tertib dan diikuti oleh semua murid dengan tenang.

Bagian yang paling menjengkelkan bagi Seina adalah, tangan Nathan yang minta diamputasi itu dengan seenak jidat menarik rambutnya. Sehingga menyebabkan gadis yang otw hilang akal itu tercabut rambutnya. Akhir-akhir ini memang rambut Seina rontok, tetapi tetap saja rasanya sakit ketika dicabut begitu saja.

Jadilah wajah Nathan yang menerima karmanya.

“SEINA! APA-APAAN KAMU INI?!” Bu Diana, guru yang banyak kecot itu menegur Seina dengan tak kalah lantang suaranya menegur perbuatan Seina barusan.

“Cuma ngasih pelajaran sama orang kurang ajar.”

“Kalian berdua, silakan tinggalkan kelas saya!”

•••

Bukan hanya meninggalkan kelas Bu Diana saja, tetapi mereka berdua mendapatkan hukuman untuk membantu Pak Mamat untuk menyiram tanaman hias serta bunga di taman.

Seina bisa saja pergi membolos dan meninggalkan hukuman konyol ini. Tetapi ia tidak memiliki tenaga sama sekali, bukannya belum sarapan, tetapi batinnya memang tidak bisa diajak kompromi jika seperti ini.

Ia hanya bisa terduduk lesu.

“Seina, g-gue minta maaf soal tadi. Sumpah, gue nggak bermaksud buat—”

“Bacot.”

Nathan yang hendak menjelaskan kejadian tentang tadi malah dipotong begitu saja ucapannya dan dibalas dengan kasar oleh Seina. Ia sangat-sangat merasa bersalah.

Melihat Seina dengan amarah yang meluap-luap dan kesal dengan hal-hal kecil memang sudah biasa ia lihat. Tetapi dengan kondisi yang terlihat tubuh tanpa nyawa seperti ini, Nathan tau ada yang salah.

Nathan mendaratkan bokongnya di samping Seina, meskipun sedikit berjarak. Ia tak peduli jika celananya kotor akibat tanah yang sedang ia duduki sekarang. “Pipi lo kenapa?”

Nathan sedikit terkejut ketika ia baru menyadari bahwa pipi kanan Seina sedikit memerah, tapi tidak seperti memakai blush on. Karena yang merah memang cuma sebelah.

Seina mendelik, kepo sekali manusia satu ini. “Peduli apa lo? Kepo banget jadi makhluk hidup.”

Nathan mengatupkan bibirnya, salah lagi. “Kalo nggak kepo bukan orang Indonesia namanya.”

Seina langsung saja memberikan tatapan sinis lalu berdecak sebal.

Nathan tersenyum kecut, kenapa cewek ini nggak pernah memberikannya kesempatan sih?

“Disuruh bantuin Pak Mamat malah leha-leha disini, enak banget ya jadi tuan putri?”

Seina mendongakkan kepalanya ketika mendengar suara Aiden yang rempong banget kalo ngomel. Ia menyambut uluran tangan Aiden dan berdiri sambil menepuk-nepuk roknya yang sedikit kotor.

Nathan hanya bisa melihat ketika Aiden sedang menggenggam kedua tangan Seina, berniat membersihkan telapak tangan gadis itu yang kotor terkena tanah. “Udah tua bangka kelakuan kayak bocah TK.” Aiden mencibir Seina.

Dan begitulah, Nathan seperti obat nyamuk. Selama ini ia tidak pernah melihat Seina dekat dengan lawan jenis di sekolah, kecuali demit satu ini, Aiden. Seorang bendahara kelas yang jika satu hari ada yang nggak bayar kas, mulutnya udah kayak macan betina.

“Saingan gue sahabatnya, yo ndak mampu aku, ” gumam nya pelan.

•••

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ketua Kelas [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang