BAGIAN - 28

193 8 2
                                    

•••

Ting

Ting

Ting

Dentingan notifikasi dari orang yang sama sejak semalam tetap Seina acuhkan begitu saja, tidak peduli sama sekali. Rasa kesalnya terlalu mendominasi dibanding mengasihani.

“Bodo amat, sana lo sama anak pelakor itu!” ucapnya geram lalu mematikan ponsel.

Seina masih tak suka melihat bagaimana Aiden malah melayani Dara yang banyak cingcong kemarin.

Dengan uring-uringan Seina duduk di meja riasnya menatap wajah dirinya yang semakin lama semakin keriput saja karena terlalu banyak marah. Sanga berbanding terbalik dengan ekspresi ceria dan riangnya di foto-foto masa kecilnya yang selalu terpajang rapi. Memuakan.

Rambut yang masih basah membuat seragam bagian bahu dan punggungnya juga ikutan lembap, tetapi Seina malah termenung menatap cermin dengan kosong.

Memorinya terputar pada perjalanan hidupnya selama ini, sejak kecil ia memang selalu diajarkan untuk mandiri dan tidak bergantung pada siapapun. Tapi sekarang ia sadar, Oma mengatakan itu hanya agar dirinya terbiasa ditinggalkan oleh pekerjaan yang selalu menyibukkan Renata dan Dito.

Ia memangku wajah menggunakan kedua tangan, seolah sedang memandang lawan bicara, padahal hanya ada dirinya sendiri yang ada di balik cermin. “Sekarang yang gue takutin bukan ditodong pertanyaan pilih Mama atau Papa.”

Renata yang memiliki butik dan menjadi make-up artist pasti karirnya akan semakin cemerlang apabila kehilangan beban seperti dirinya yang menyusahkan. Di umur yang masih produktif juga Renata sangat memungkinkan untuk menemukan pengganti yang lebih baik.

Sementara Dito, Papa nya itu akan menikahi wanita yang ia cintai dan memilki anak seperti Dara. Tak munafik, Seina mengakui bahwa Dara adalah anak yang berkepribadian baik juga pintar.

Jadi dapat dipastikan Dito tidak akan pernah menyesali keputusannya untuk memilih bersama dengan Saras dan menjadi ayah sambung bagi Dara.

Lalu bagaimana dengan dirinya jika semua pemikirannya tadi terjadi? Seina tidak ingin menjadi anak yang paling menyedihkan karena tidak diterima oleh siapapun.

“Mending kamu yang bawa Seina.”

“Kan kamu Ibu nya, kenapa jadi suruh aku?”

“Ih bangsat, ngapain sih, udah mandi juga,” gerutunya mengibas-ngibaskan kedua tangan ke wajah berusaha menahan air yang berada di pelupuk matanya tak jatuh.

Seina semakin jengkel dengan dirinya yang malah menjadi terisak seperti ini. Bahunya semakin naik turun tak beraturan seiring tetesan air matanya turun.

“Tapi kalo beneran gimana? Gue gak mauuuu.”

Kenapa pikiran-pikiran buruk yang tak pernah ia harapkan ini terus bercabang saja sih? Sekarang Seina harus memukul kepalanya berulang kali agar penyebab tangisannya sekarang menghilang dan tak pernah kembali.

Seina tidak bisa membayangkan bagaimana rasa cemburu yang tertanam pada dirinya ketika suatu hari melihat Mama dan Papa nya akan memiliki anak lagi dengan pasangan yang mereka cintai.

Anak itu pasti akan menerima banyak cinta dan kasih dari Renata ataupun Dito. Tidak seperti dirinya dulu yang malah seperti anak bungsu Oma nya.

Dari kebanyakan sinetron juga entah itu Mama atau Papa, mereka akan lebih memilih keluarga barunya. Tak semua, tapi dari hasil survei memang begitu. Ia tak mungkin kan selamanya harus menyusahkan Arthur dan Ajeng.

Ketua Kelas [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang