BAGIAN - 44

141 8 3
                                    

Renata sesekali tersenyum lalu kembali menormalkan ekspresi wajahnya berulang kali setiap melihat video sang putri yang menuruni bakatnya. Sudah lama ia berkomunikasi dengan Soraya Brigita, wali kelas Seina. Yaa, hanya untuk sekedar mengetahui bagaimana perkembangan sikap anakmya saja.

Dirinya bukanlah tipikal ibu lemah lembut yang selalu memanjakan anak semata wayangnya, Renata adalah wujud kebalikan semua itu. Setiap pencapaian yang Seina raih, ia tak pernah memberi apresiasi dengan benar. Bahkan pujian secara langsungpun rasanya ia lupa kapan terakhir kali melakukannya.

Ini memang terdengar kasar, tetapi ia hanya ingin mendidik dengan caranya sendiri. Apa yang telah ia alami membuatnya merasa bertanggung jawab untuk memberikan Seina pelajaran untuk tidak terlalu mudah merasa puas dengan hasil.

Renata ingin versi mininya itu akan tumbuh dewasa menjadi seseorang yang bisa berdiri sendiri dengan penuh percaya diri. Bahkan kalau bisa, ia ingin sekali jika anak perempuan satu-satunya itu tidak membutuhkan yang namanya lelaki. Ayah kandungnya saja tidak bisa dipercaya kok.

"Antee, Kak Cena kok ndak ikut?"

Suara halus dari balita yang tiba-tiba menghampirinya membuat Renata mematikan telpon genggamnya dan menundukkan sedikit tubuh untuk menatap gemas keponakan lucunya ini. "Kak Cena pulangnya besok, Arga pasti kangen, ya?"

Dengan lucunya anak bungsu dari adik iparnya itu mengangguk cepat sambil menggembungkan pipi. Seina memang begitu dekat dengan balita yang masih belajar banyak kosa kata baru itu, karena keinginannya yang sedari dulu mengharapkan seorang adik.

Satu hal yang tidak bisa Renata kabulkan.

"Ante, Om lagi cama capa di lual? Malah-malah," cakap Arga membuat Tantenya itu mengerutkan alis.

"Om di luar? Marah-marah?"

Renata segera berdiri dari duduknya, semua orang di sini sedang mempersiapkan perayaan ulang tahun Ajeng yang ke 65 tahun tengah malam nanti. Tetapi kenapa suaminya itu malah berkeliaran kemana-mana seolah tak memiliki pekerjaan lain? "Faniaaa, ini adeknya dijaga ya, Tante mau nyari Om Dito."

Sepatu haknya yang bisa dikatakan tinggi itu masih saja nyaman dipakai oleh Renata kemanapun, suaranya menghentak-hentak setiap kali menyentuh lantai bergegas untuk keluar rumah.

"KAMU UDAH JANJI SAMA AKU KALAU HAL INI GAK PERNAH TERJADI LAGI SAMA DARA! TAPI APA? ANAK KAMU ITU MASIH TETAP MELAKUKAN HAL SEMENA-MENA, MAS!"

"APA SELAMA INI PADA DASARNYA KAMU EMANG GAK PERNAH MENGGERTAK DIA SAMA SEKALI, YA?"

“Maksud kamu tuh apa? Coba tenang dulu.”

Renata tertawa terbahak-bahak ketika melihat kembali sosok yang setelah sekian lama tak pernah lagi memunculkan batang hidung di hadapannya. Ia tak peduli apabila dua orang yang tengah berseteru di pagar rumah mertuanya ini bersamaan menatapnya terkejut.

Menjadi model dalam waktu yang tak singkat membuat cara berjalannya selalu nampak mengagumkan. Saat berhasil menghampiri keduanya yang mendadak terdiam, Renata menyugar rambut yang sudah ia tata dengan rapi ke belakang. Cuaca petang ini lebih panas dari biasanya.

"Oho, long time no see, Aileen Saraswati. How are you?" sapanya dengan nada sarkas.

Mata yang memerah dan pipi berair sudah menjelaskan bahwa keadaan wanita ini jauh dari kata baik-baik saja. "Mbak—"

"Hey! Can't you stop call me Mbak? I'm younger than you, remember that?"

Renata geli setiap mendengar panggilan itu. Seolah begitu menjelaskan bahwa dirinya adalah istri pertama Ardito, lalu wanita ini... ugh, ia tidak sudi hanya dengan menyebutnya.

Ketua Kelas [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang