BAGIAN - 14

266 13 5
                                    

Melihat tatapan Aiden yang seperti ingin menerkam dirinya, Nathan dengan perlahan menjauhkan ponsel milik cowok itu dari telinganya, lalu mengembalikan benda tersebut pada pemiliknya.

Selama Aiden menjawab panggilan dari Seina, Nathan tidak menghilangkan fokusnya sama sekali. Napasnya masih tercekat saat pertama kali mendengar Seina mengeluarkan isakan yang membuat dirinya khawatir setengah mampus.

“Iya-iya Naaaa, nanti siang di tempat biasa. Udah jangan nangis terus, kalo lo sakit ntar yang direpotin pasti gue.”

Melihat Aiden memasukkan handphone nya kembali ke dalam saku sontak membuat Nathan dengan buru-buru mewawancarai cowok di depannya. “Seina kenapa?”

Aiden malah menaikkan satu alisnya, songong. “Harusnya gue yang nanya. Ada hak apa lo megang-megang hp orang sampe berani angkat telponnya? Gak sopan!”

Nathan mendesah pelan, “Ck, shh. Iya-iya, soal yang tadi gue minta maaf banget sumpah. Gue tadi mau bangunin lo cuma gak tega, yaudah gue angkat aja.”

Bullshit banget,” balas Aiden menanggapi, lalu melengos pergi.

Tentunya sang ketua kelas yang rasa kepo dan gelisahnya tak kunjung mereda mengejar sang bendahara.

“Den, Den, sumpah sekali aja jawab pertanyaan gue. Seina kenapa?” tanyanya memelas di depan Aiden.

“Emang lo siapanya Seina yang harus wajibin gue kasih tau keadaan dia?”

Nathan memijat pelipisnya, keki dengan Aiden yang sudah ia puji sedari tadi tentang sikap kalemnya malah balik ke mode asal. Kepala batu.

Ia menarik napas lalu mengembuskannya dengan keras, “Oke. Gue ngaku, bahkan sebelum gue bilang juga pasti lo udah tau kan? Gue sayang sama Seina, dan gue suka sama dia. Puas?”

Aiden malah bersidekap dada dan memberikan sunggingan senyum miring, sangat amat mengejek. Dugaannya selama ini benar adanya. “Tapi Seina gak suka sama cowok, kecuali gue.”

•••

Sore pada hari ini mendung, datangnya semilir angin yang cukup dingin tetap tidak menggoyahkan komitmen gadis itu untuk meninggalkan tempat yang telah ia duduki dari 2 jam lalu.


Air yang selalu tergenang di pelupuk matanya membuat dirinya merasa jengah untuk sekedar berkaca. Seina sangat malu dengan kondisinya saat ini yang cukup memprihatinkan.

“Perasaan gue gak baperan deh, tapi kenapa sekalinya Mama bilang gitu sakitnya gak kira-kira?” tanyanya denial, memejamkan mata berusaha menahan segala kesesakannya.

Seina berharap hari ini hujan turun dengan lebat, dengan begitu tidak ada seorangpun yang akan melihat air mata menyebalkan ini berada pada kedua pipinya.

Kedua mata Seina kembali terbuka ketika merasakan sentuhan hangat menjalar pada wajahnya. “Nathan?”

Bukannya menjauh, Nathan malah memberanikan dirinya untuk mengusap tetes demi tetes air mata yang sedari tadi mengalir pada kedua mata crushnya.

“Kenapa?”

Seina yang memang sedang dalam kondisi seperti ini rasanya semakin ingin mengeluarkan tangisannya kembali. Sedari kecil Seina tidak akan bisa berhenti menangis apabila ditanyakan penyebabnya.

Mengerti dengan kondisi Seina, Nathan menggenggam kedua tangan gadis yang lebih kurus dari terakhir pertemuan mereka lalu berjongkok. “Nangis aja sepuasnya, gue gak akan ninggalin lo.”

Rasanya Nathan mati kutu ketika kontak matanya di balas oleh tatapan sayu Seina, bisa dibilang ini adalah moment langka yang tak akan pernah ia lupakan.

“Nath... Kalo selama ini orang tua gue sama-sama gak saling cinta, apa gue lahir cuma karena nafsu mereka aja?” tanya Seina penuh pertanyaan, ingin sekali jawaban yang ia lontarkan berbanding terbalik dengan pikiran negatifnya.

“Apa kehadiran gue ini sebenernya gak diharapin mereka, ya?”

Dengan cepat Nathan memilih posisi duduk di samping Seina dan merangkulnya sayang. “Jangan pernah bilang gitu, kalo lo berpikiran kayak gitu, semua itu salah besar, Na. Ada banyak orang di luar sana yang sayang sama lo, salah satunya gue.”

[]

“Kenapa liatinnya gitu banget?”

Nathan tersadar sepenuhnya ketika sebuah tepukan pelan mendarat pada bahunya. Ia menoleh mendapati Aldara yang sudah berada tepat di sampingnya entah sedari kapan.

“Lo kok bisa di sini sih? Bukannya istirahat, kan belum sembuh,” tanyanya sembari mengomel. Jiwa-jiwa friendly dan care nya sampai keluar secara refleks.

Dara malah menatap dalam pada objek yang sedari tadi menjadi bahan tontonan Nathan. Di sana ada Seina yang tengah menyandarkan kepalanya di bahu Aiden dan dirangkul oleh cowok itu.

Sedari tadi Nathan hanya berhalusinasi bahwa sosok yang berada di dekat Seina adalah dirinya. Ahhh, sepertinya ia sudah gila sekarang.

“Lo sendiri ngapain di sini?” Dara malah menanyainya balik tanpa menghentikan kegiatannya menatap Seina dan Aiden yang membelakangi mereka berdua.

“Kalo gue jawab bukan urusan lo kasar bangat nggak?”

Jawabannya sontak membuat Dara tertawa tertahan. Ia kini menoleh melihat ketua kelas di sampingnya ini. “Lo suka banget sama Seina ya?”

Nathan hanya menggaruk belakang lehernya yang memang gatal karena gigitan nyamuk betina, bangke emang. Ia sendiri masih bingung definisi rasa sukanya terhadap Seina, apakah memang udah di level banget ya? Sepertinya di antara tidak dan iya.

“Mau bantu gue minta maaf nggak, Than?” Sontak ucapan Dara membuat Nathan sedikit terjengit kaget.

“Buat apa? Lo kan nggak salah.”

Dara menyunggingkan senyum kecut.

•••

illustration of Nathan's imagination

illustration of Nathan's imagination

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


a/n

Ih sumpah deh aku dulu suka banget nulis cerita iniiii, tapi beberapa bulan ini aku kayak males aja. Aku punya banyak ide dan alur buat lanjutin, tapi setiap aku paksain nulis scene Seinathan rasanya ngga ngefeel, malah sukanya Daraiden ini gimana sih huhuu. aaa segini aja dulu, banyak cingcong banget kayaknya aku wkwkw. Jangan lupa vomentnya sayang sayang akuu

Ketua Kelas [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang