Kembali poros tubuh mereka bersinggungan, mencerna lekat-lekat tiap gerakan yang dirasa meyakinkan atas ungkapan yang begitu kontradiktif, melibatkan dua potong hati yang seketika tersentuh nyeri.
Segera Salma menyasar sorot mata di hadapannya, yang mereka bilang jendela jiwa. Ia cari lagi setitik kebohongan atau setidaknya letak gurauan yang kiranya mampu mengembalikan keadaan dari ketercanggungan. Namun, tak ada, tak terbentuk barang secercah saja.
Sementara, Rony memilih menatap deburan biru nan jauh kala menyebar segala sesak yang sebenarnya sudah ia persiapkan sejak lama. Namun, saat mendengarnya sendiri dari bibir manis Salmaya, itu terasa meruntuhkan dunia.
Ia lalu tundukkan kepala, mengusap lesu kesan tak enak hati di lengkung wajahnya, sedikit menyesali betapa lancang mulutnya telah mengaku cinta. "Sorry, Ca.""S-sejak kapan?" tanya perempuan itu pelan, agak bergetar.
Lelaki di sampingnya menoleh dengan rupa pilu. "Lama sekali, nggak keliatan ya?"
Mata berselubung kaca milik Rony serasa menjebak jiwa Salma, melemparnya jauh pada hamparan semesta bisu, luruh menelusuri kesungguhan perasaan yang mereka renda bersama dari waktu ke waktu. Berakhir, ia merasa terlalu bodoh dalam menerjemahkan segala sinyal perhatian dari orang yang selalu mengukuhkan posisi sebagai sahabat itu.
"Kenapa gue?" Salma mengedip, menggugurkan satu tetes air menuruni lembah pipi, kuat terasa seperti kilat belati yang menggores kepercayaan miliknya selama ini, pun merangkum kesimpulan buruk bahwa segala apa yang Rony lakukan terhadapnya itu tidaklah tulus.
"Andai gue bisa milih, Ca," terang Rony, sungguh-sungguh.
"Harusnya bisa!" timpal perempuan itu, sangat keras. Bergegas mengatur napas dan tensi suaranya, Salma melanjutkan, "Mencintai itu keputusan sadar manusia, Ron. Dan, harusnya lo sadar kalau gue itu ... sahabat lo, kita bareng dari dulu, berbagi apapun, cerita apapun. Sanggup ya lo mandang gue dengan kacamata rasa yang ringkih itu? Rasa yang kemungkinan besar nggak akan bisa bertahan lama jika benar sampai hadir di antara kita! Tega ya?"
Rony tersenyum miris. "Terus kenapa kalau lo sahabat gue? Apa cintanya jadi rendah? Jadi salah?"
"Jelas salah!" hardik Salma kembali.
"Salahnya dimana?" Rony merasa frustrasi.
"Salahnya ... lo ngebuka peluang buat kita berpisah! Bisa bayangin kalau kita udahan? Kita bakal saling ninggalin, bahkan saling benci. Selama ini gue mati-matian buat nggak jatuh cinta sama lo, karena gue nggak mau kehilangan lo, gue nggak mau Ron! Tapi, lo malah kaya gini?!?"
Berjeda.
Salma merasa reaksinya jadi tak berguna kala lelaki itu dengan sangat hati-hati menggenggam kedua tangannya, kini. Bisa ia rasakan permukaan kulit mereka yang dingin, berangsur saling menghangatkan di sana.
Rony menenggelamkan diri dalam arus pandangan Salma yang bertanya-tanya akan aksinya. "Niat gue cuma jujur tentang perasaan gue yang sebenarnya, gue nggak minta buat lo balas, Ca. Semata, gue mau mengakhiri semua harapan yang ada dengan tanpa ketidakpastian lagi. Kalau lo bilang mencintai itu keputusan sadar ... iya betul, gue sadar akan hal itu ... itu juga yang alasan kenapa gue baru bilang sekarang. Sebab segila apapun usaha gue di belakang sana, bukan gue ... yang lo cinta. Raga lo selalu ada, senyum lo selalu sama, tapi hati lo ... gue juga tahu buat siapa, Ca." Melonggarkan sedikit jalan napasnya. "Gue masih sadar diri buat nggak mengharap lebih setelah ini."
Salma terdiam, membiarkan hembusan angin menyapu kering leleran air mata, sebelum dengan nada yang tak duduk, ia berujar, "Gue rasa itu bukan cinta, Ron. Lo cuma takut ... kesepian."
KAMU SEDANG MEMBACA
ENAMOURED (UNDER CONSTRUCTION)
Fanfiction👩🏻⚕️👨🏻✈️ Doctor Pilot Romance! "Setiap aku lepas landas, maka kulupakan sejenak tentangmu dan dunia. Meski begitu, senyumanmu tetap terukir indah di gugusan awan, pun binar matamu mengalahkan semburat mentari yang kupandang. Kunikmati ia semam...