CHAPTER 24 | 💔

3.9K 154 5
                                    

Tolong tinggalkan jejak !!

Naila tidak ingin terburu-buru untuk jatuh cinta, kegagalan hubungan dimasa lalu membuatnya semakin lebih berhati-hati akan cinta, jika dulu ia menggunakan hati dan perasaannya sekarang ia lebih berpikir logis dan realistis pada keadaan. Naila tidak mau terjerembap di kesalahan yang sama.

Perjalanan hubungannya dengan Devan juga terkesan santai karena Devan selalu memberikan kebebasan untuknya, Devan sangat bertanggung jawab akan kenyamanan Naila, laki-laki itu selalu memberikan yang terbaik untuk kepentingan hubungan mereka.

Selama satu bulan menjalin hubungan secara resmi Devan semakin menggambil perannya sebagai pasangan yang baik dan bertanggung jawab, jujur saja diperlakukan layaknya ratu membuat proses penyembuhan luka hati Naila semakin cepat. Ia tidak mau menjadi orang yang munafik, ia juga tidak menampik bahwa Devan mampu membuat hatinya kembali pulih secara cepat.

Selama satu bulan menjalin hubungan hari demi hari mereka lalui bersama dengan indah. Meski tak selalu bersama namun Devan selalu berusaha memberikan kabar bahkan selalu meminta izin saat ingin melakukan sesuatu. Devan selalu melibatkan Naila dalam setiap pilihannya. Tak sekalipun Devan mengabaikan perasaan Naila dan membuat wanita itu merasa kesepian.

Seperti saat ini Devan tengah menghubungi Naila melalui panggilan suara meminta izin untuk pergi berkumpul bersama teman-teman SMA nya sebelum keberangkatannya ke Amerika.

"Aku boleh pergi kumpul dengan teman-teman SMA ku nggak ?" tanya Devan melalui panggilan suara.

"Kalau boleh tau dalam rangka apa?"

"Main aja karena semenjak lulus belum pernah nongkrong bareng lagi."

"Oh... dimana kumpulnya?"

Devan menyebutkan salah satu nama club malam terkenal di jakarta yang seketika membuat Naila terdiam cukup lama.

"Hm... itu bukannya club malam ya?" tanya Naila berhati-hati.

"Iya" jawab Devan dengan jujur.

Sejujurnya dalam hati kecil Naila, ia sangat ingin sekali melarang Devan untuk pergi entah mengapa perasannya tidak enak namun ia tidak mau terkesan melarang dan mengekang Devan dan pada akhirnya Naila memutuskan untuk memberi izin Devan untuk pergi, ia berusaha keras menyingkirkan rasa takutnya.

"Nai? Hallo? Kamu masih disana kan?"

"Ah iya-iya, sorry gimana jadinya?"
Devan terkekeh. "Kok malah nanya aku, jadinya aku boleh pergi ga?"

"Kalau aku bilang kamu nggak boleh pergi kamu mau nurutin nggak?" gumam Naila pelan yang membuat Devan tidak dapat mendengar dengan jelas.

"Kamu ngomong apa pelan banget."

"Ah, nggak kok..." jawab Naila berbohong namun Devan menyadari bahwa barusan Naila mengucapkan sesuatu untuknya namun ia menutupinya.

"Nai kenapa? Kamu khawatirin apa sih sayang?" ucap Devan lembut.

"Aku hanya parno, entahlah mungkin pikiran aku aja yang terlalu negatif."

"Gapapa sayang aku ngerti mungkin karena itu club malam kan?"

Naila tak bisa menutupi rasa khawatirnya, mungkin jika hanya sekedar berkumpul di caffe ia tidak akan khawatir dan sekarang pikiran buruk terus terlintas dipikirannya dan itu sangat menganggu.

"Tapi kalau kamu tetap mau pergi gapapa." ucap Naila dengan berat hati, ia tidak mau membuat Devan terasa terkekang bersamanya.

"Benar gapapa? aku lebih suka kamu jujur."

"Sejujurnya aku berat tapi aku percaya sama kamu, kamu juga selalu kasih aku ruang kebebasan jadi aku nggak mau kamu merasa terkekang." Jelas Naila yang sebenarnya bertolak belakang dengan kata hatinya.

"Aku nggak pernah merasa terkekang tapi makasi ya karena selalu percaya sama aku, aku janji bakal jaga kepercayaan kamu."

"Iya"

"Nanti selama disana aku akan selalu kasi kabar."

"Oke, have fun ya."

"Oke, kalau gitu aku matiin dulu ya, aku mau siap-siap."

Setelah panggilan usai Naila meletakan ponselnya diatas nakas, ia duduk bersandar sambil merenung. Entah mengapa perasaannya begitu tidak nyaman dan ia sangat gelisah memikirkan Devan. Ia berusaha mengendalikan pikirannya namun tetap saja pikiran buruk terus terlintas. Ia lelah dan pada akhirnya Naila memutuskan untuk tidur.

Pukul sepuluh malam Naila terbangun, ia meraba nakas untuk mengambil ponselnya dengan keadaan setengah sadar ia berusaha mengirimkan pesan pada Devan, menanyakan apakah Devan sudah pulang atau belun namun karena tak kunjung mendapat balasan Naila tanpa sadar tertidur dengan ponsel yang masih ada di genggamannya.

Di pagi hari Naila terbangun, ia segera membuka ponselnya dengan semangat berharap Devan sudah membalas pesannya semalam namun ekspetasi tak sesuai dengan kenyataannya karena ternyata tak ada satupun balasan dari Devan.

Naila menghembuskan napasnya berat, ia meletakan lagi ponselnya keatas nakas dengan perasaan kecewa dan ia segera pergi mandi.

Seusai mandi pun Naila masih tetap berharap jika Devan membalas pesannya tapi sekali lagi harapannya harus terpatahkan karena saat ia membuka ponselnya ia tetap tidak menerima pesan dari pria itu.

"Apa dia belum bangun ya karena pulang kemalaman semalam?" ujar Naila seorang diri, ia berusaha tetap berpikir positif ditengah-tengah pikiran negatif yang mendominasi pikirannya saat ini.

"Kalau aku telfon ganggu ga ya?" ujar Naila lagi menimang-nimang. "Aku telfon aja deh, tapi..."

"Haduh telfon ga ya?"

Naila menarik napasnya dalam-dalam dan setelah melalui pertimbangan yang cukup lama ia memutuskan untuk menelfon Devan. Cukup lama menunggu panggil diangkat akhirnya Devan mengangkat panggilan itu, senyum Naila terukir indah namun tak lama senyumnya sirna saat suara wanita khas bangun tidur yang terdengar dalam panggilan.

Naila reflek mematikan panggilan itu karena ia sangat terkejut, napasnya tersengal dan jantungnya seketika berdegup kencang. Ia berusaha berpikir positif walau sebenarnya hatinya mulai goyah. Ia tidak salah menelfon, itu benar nomor Devan tapi mengapa wanita yang mengangkat panggilannya.

~○°💔💔💔°○~

TO BE CONTINUE

Vote! Vote! Vote! Biar aku lebih semangat!

TIME TO LEAVE [TAMAT] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang