CHAPTER 9 | 💔

12.8K 491 9
                                    

Aksa bergerak gelisah dengan jantung yang semakin berpacu sangat cepat, dalam beberapa menit bibirnya terasa kelu bahkan hanya untuk mengeluarkan satu kata pun ia tak mampu.

"Butuh berapa lama lagi untuk memuaskan rasa dendam kamu?" Naila memejamkan matanya dalam-dalam menahan amarah yang meluap. "Jawab!!"

Aksa tetap diam membisu namun sekarang yang ia lakukan hanyalah mengubah posisi, bersimpu dihadapan Naila dengan menggenggam tangan istrinya. Matanya memerah menahan tangis, menatap nanar pada Naila.

"Kenapa diam?!" Naila menghempaskan tangan Aksa kasar, dia tidak peduli, ini saat yang tepat untuk menuntaskan rasa amarahnya. "Kenapa nggak bisa jawab?! Jawab!" Teriak Naila tepat dihadapan wajah Aksa. Habis sudah kesabarannya kali ini.

"Tenang, Nai..." Ucap Aksa tergugu.

"Tenang kata kamu? Kamu nyuruh aku untuk tetap tenang?" Naila berdecih sinis. "Kamu pikir aku masi bisa tenang setelah ini, hah? Nggak waras kamu!"

Naila menutup wajahnya dengan kedua tangannya lalu mengusapnya kasar.

"Arghh! Salah apa aku sampai harus hidup bersama laki-laki brengsek seperti kamu!" Teriaknya lagi lebih keras.

"Nai..." Ucap Aksa lebih lembut lagi, ia berusaha menyentuh tangan Naila tapi lagi-lagi Naila menolak. "Itu dulu, sekarang mas sudah berubah. Mas sudah sadar."

"Telat, aku udah nggak peduli lagi! Kita jalani saja hidup kita masing-masing."

Aksa menggeleng, matanya semakin memerah dan tak tunggu waktu lama air matanya meluruh.

"Nggak mau. Jangan hidup masing-masing, aku nggak bisa tanpa kamu." Kata Aksa dengan suara bergetar.

"Bullshit! Hidup saja sama wanita itu."

Deg!

Aksa terkejut, hatinya begitu tertohok. Sebenarnya sudah sejauh mana Naila tau.

"Kenapa? Kamu juga kaget aku tau tentang wanita itu?" Naila menatap Aksa dengan tatapan mencemooh. "Yang namanya bangkai mau ditutup sebagaimanapun akan tetap tercium."

"Sudahlah mas, nggak usah pura-pura sedih, nggak usah drama." Naila turun dari ranjang dan bersiap keluar kamar. "Seharusnya kamu senang kalau kita menjalani kehidupan masing-masing, kamu nggak perlu merasa terusik lagi karena aku."

"Pembicaraan kita belum selesai, Nai... untuk kali ini kita selesaikan masalah rumah tangga kita. Kita berdua nggak bisa terus-terusan lari, nggak bisa terus-terusan menghindar." Aksa berucap lirih, dia takut, dia bimbang.

Naila sudah diambang pintu dan hendak membuka namun dia berhenti setelah mendengar ucapan Aksa.

"Selain brengsek ternyata kamu juga egois." Naila berbalik menatap Aksa dengan tatapan yang sulit dijelaskan. "Dulu giliran aku mau bicara kamu nggak pernah mau tau, nggak pernah mau dengar. Sekarang, giliran kamu yang bicara kamu paksa aku harus dengar semua mau kamu. Egois banget kamu."

"Aku memang egois, aku memang jahat tapi aku mau berubah, aku mau kamu tetap bertahan sama aku dan kembali seperti dulu lagi."

"Jangan harap!"

"Naila."

"Sekarang kamu rasakan bagaimana rasanya diabaikan?" Naila berbalik dan kembali mendekat. "Akhirnya sekarang kamu ada di posisi aku dulu. Bisa kamu bayangkan sefrustasi apa aku dulu karena sikap kamu?"

"Aku mengerti sekarang. Mungkin kamu muak dengan permohonan maaf tapi hanya itu yang bisa aku lakuin untuk tetap bisa sama kamu."

"Kamu manusia paling jahat yang pernah aku temui, kamu buat aku kehilangan jari diri ku. Setiap hari aku harus nyalahin diriku sendiri." Naila berdecih sinis. "Tapi ternyata karena perempuan lain. Sudahlah, memang paling baik kita berpisah."

"Aku nggak mau, Nai..." Aksa bersujud dibawah kaki Naila, memohon dengan isak tangis.

"Tapi aku udah nggak sanggup, mas." Kata Naila dengan air mata yang meluruh. "Tolonglah..." Ucapnya putus asa.

"Satu kesempatan lagi, please... sekali lagi. Aku akan selesaikan semua urusan aku dengan Mira. Tidak ada lagi dendam semua berakhir disini."

Untuk kesekian kalinya Naila menggeleng. "Aku tetap memilih untuk berpisah. Mulai sekarang kita hidup masing-masing dan mulai malam ini aku akan pindah kamar."

"Apa sudah tidak bisa lagi diperbaiki? Mas betul-betul mau berubah."

"Untuk apa diperbaiki lagi? Percuma."

"Aku nggak mau cerai, nggak mau pisah. Lagipula kamu nggak kasian sama ayah dan bunda, pasti mereka akan sangat sedih kalau kita pisah." Kata Aksa. "Setidaknya pikirkan perasaan mereka. Selama ini yang mereka tau kita baik-baik saja."

...

Tak ada jawaban dari Naila.

"Aku harus ngomong apa sama mereka?"

Naila mengalihkan pandangannya dan menjawab dengan tergugu. "Kamu bisa bilang kita harus berpisah karena aku nggak bisa kasih kamu keturunan. Aku yakin ayah dan bunda akan mengerti dengan alasan itu."

"Kamu serius Nai? Hanya untuk berpisah dengan aku kamu rela di cap mandul."

Naila mengangguk lemah.

"Apa nggak ada jalan lain selain bercerai? Aku rela melakukan apapun asal nggak cerai." Aksa mengambil tangan Naila dan menciumnya dalam-dalam. "Apa yang harus aku lakukan supaya kamu percaya?"

"Aku butuh jarak, butuh waktu. Tolong kita hidup masing-masing dulu." Naila melepaskan tangan Aksa dan berlalu keluar pindah ke kamar sebelah.

Sesampainya di kamar, Naila kembali termenung. Apakah dia harus mempertimbangkan ulang hubungannya dengan Aksa, tapi hati nya terlalu sakit jika harus mengingat kenyataan jika Aksa menikahinya hanya untuk membalas dendam dan kenyataan bahwa Aksa telah mendua selama ini.

Tapi apa yang diucapkan Aksa tadi ada benarnya, bagaimana perasaan kedua orang tua mereka jika mereka berpisah.

~○°💔💔💔°○~

TO BE CONTINUE

Jangan lupa vote nya yaa!

TIME TO LEAVE [TAMAT] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang