"Yaksa, gue udah gak kuat."
Betapa letihnya keadaan Reva, semangat mendakinya telah pupus dikalahkan jarak serta terjalnya jalan setapak penuh bebatuan besar.
"Reva ...."
Tenggorokan Reva menelan kekosongan, bergerak naik turun menantikan bulir air pelepas dahaga. Reva memutuskan duduk bersandar di samping batu besar. Kedua tangan serta kakinya dilebarkan, sementara trekking pole miliknya menyangga leher.
Kepala Reva mendongak, berusaha mengatur napas pelan-pelan, apalagi mendaki gunung di malam hari dengan kasar oksigen tipis. Selama ia memperlihatkan ekspresi jengah, Yaksa masih berdiri tak terlalu tegak di depan. Salah satu kakinya ditekuk, menunggu Reva menghabiskan waktu istirahat.
"Berapa menit?"
"Lima menitan." Dijawab Reva sambil menunjukkan kelima jari.
Mulut Yaksa menganga. Ia juga teramat lelah. Namun, karena ia memiliki fisik seorang laki-laki dan hobi olahraga, keadaannya jauh lebih memungkinkan melanjutkan perjalanan beberapa meter lagi. Meski Yaksa lelah, keadaannya bisa dibilang baik-baik saja dan tidak berlebihan membuang tenaga.
"Ayo!" Seorang perempuan berambut pirang menyeru. Cahaya headlamp bergerak-gerak mengikuti gelengan kepala.
Jalanan di atas sana mulai meliuk-liuk dan sangat terjal. Perlu tenaga ekstra kalau dipaksa melanjutkan langkah. Steva bersama Jagguar telah melewati jalan mematikan itu sehingga bisa melihat Yaksa serta Reva di bawah. Mereka selalu selangkah lebih cepat. Seakan hafal peta gunung Kazbek.
"Reva kelelahan," balas Yaksa melambaikan tangan sebagai isyarat.
"Ah, merepotkan saja!" cecar Steva.
Yaksa pun mengabaikan omongan Steva, ia mendekati Reva dan duduk di sebelahnya. "Gue ambilin minum." Mengeluarkan botol plastik dari perekat samping tas carier.
"Yah ... Udah habis." Botol yang baru saja diambil Yaksa, telah kosong. Dihabiskan selama perjalanan berlangsung. Kekecewaan tergambar di wajahnya.
"Sama. Botol minuman gue juga habis. Gue haus banget. Kayaknya gue mau mati bentar lagi." Diselingi tawa paksa.
"Kalau ngomong jangan sembarangan!"
Setelah itu, Yaksa berdiri. Menoleh arah Steva berada. "STEVA! ADA AIR?"
"Air?"
"REVA BUTUH AIR!"
Bukannya langsung menjawab, Steva mendahuluinya dengan tawa terpingkal-pingkal.
Yaksa serta Reva menatap heran. Alis mereka terangkat, merasa Steva adalah perempuan aneh.
"Airnya sudah habis." Jawaban Steva teramat mengecewakan. Sedikit demi sedikit, tawa yang membersamainnya mereda.
"Serius?"
"Kita harus lanjutkan perjalanan. Sebentar lagi pos tiga, di sana ada sumber mata air," ucap Jagguar sambil tangan kanannya lurus tegak menyentuh batang pohon.
"Cks!" decak Yaksa. "Reva? Kita harus lanjut."
"Gak." Gelengan kepala Reva terlalu lemas. "Kalian lanjut aja tanpa gue. Dari awal gue gak pernah mendaki, gue beban banget kan?"
"Bukan gitu. Aish! Gimana ya? Soalnya semua air kita habis. Steva habisin tiga botol minuman cadangan. Sialan banget tuh teman lu."
Membicarakan Steva hampir selalu membuat pusing kepala Reva. "Kalau lanjut, gue takut pingsan."
"Gue gendong!"
"Gak usah."
"Udah, ayok!" Cekatan Yaksa membelakangi Reva sambil duduk jongkok. Suaranya memberi aba-aba bahwa Reva harus segera ikut.
Situasinya terlanjur kurang mendukung. Ditambah kedua sejoli egois bernama Steva serta Jagguar. Mau tidak mau, Reva menurut setelah sejenak menghabiskan roti tawar. Ia pelan-pelan berdiri, memilih digendong pacar tersayangnya. Tindakan Yaksa memancing senyum sumringah Reva, hatinya mulai berbunga dan muncul benih semangat.
"I love you, Yaksa." Pipinya menyentuh pundak kuat laki-laki bermata sipit itu.
"Pegangan yang kuat." Butuh waktu bagi Yaksa untuk berdiri, mengumpulkan kekuatan dahulu. Ketika meminta Reva merapatkan ikatan tangan, maka Reva menambah erat pegangan tangan dengan rela hati.
Sebelum jongkok tadi, posisi tas carier Yaksa dipindah depan. Alhasil ia lebih mudah menggendong Reva dan pelan-pelan melanjutkan langkah. Kedua trekking pole dibawa oleh Reva sementara waktu.
"Dasar beban! Lemah!" seru Steva tidak suka jika Yaksa serta Reva bersatu atau semakin kuat cintanya.
"Udah, gak usah dengarin dia."
Reva mengangguk. "Gue salah udah sahabatan sama dia. Ternyata sifatnya jelek banget. Di rumah dia baik, di sini dia busuk!"
"Itulah, Rev. Sifat asli seseorang akan muncul kalau udah mendaki gunung."
"Ayo cepat!" Steva terlalu bawel.
"Sabar! Tunggu! Kita ke sana segera," balas Yaksa merintih juga merengkuh. Mengesampingkan rasa lelah demi membantu Reva. Di posisi saat ini, tindakan Yaksa adalah idaman kaum hawa.
"KENAPA LU GAK MATI AJA SI, REVA?!"
Niat Steva agar Reva sakit hati, lalu memilih membatalkan pertolongan Yaksa. Mendengar teriakan Steva barusan, lantas Reva menekuk kedua alisnya, sungut napasnya memendam sejuta tindakan kekerasan. Andai Steva dekat, pasti sudah dihajar Reva. Jarak Steva yang jauh menandakan kalau si rambut pirang itu hanya mau main aman saja, lalu sepuasnya meledek.
"Jangan dengarin Steva, Rev. Nanti biar kita bikin tenda yang jauhan sama mereka. Kalau mereka milih ke puncak, bukan tanggung jawab kita."
"Lu bener. Maaf."
"Gak usah minta maaf."
Reva terkekeh. "Tapi Steva cantik kan? Lu pasti suka."
"Awalnya sih iya. Gara-gara sikapnya egois, gue jadi benci dia."
"Tapi dia lebih kuat dari gue. Gue yang sering latihan napas aja, kalah sama jarak di gunung Kazbek ini. Steva? Dia terlalu kuat, seharusnya lu sama dia."
"Udah. Jangan bahas Steva. Fokus! Jangan melamun."
"Iya. Thanks." Reva terpejam. Dunia cintanya melambung tinggi membawa hatinya.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
S T E V A - Horror Story (TERBIT BUKU)
HorrorStevanya - Steva (Bisa berubah jadi anak kecil) Stevanya adalah gadis remaja rambut kepang dua blonde yang selalu terlihat di hutan. Kecantikannya selalu meluluhkan hati para lelaki. Mengencani beberapa lelaki, berujung hilang tidak pernah kembali...