Bab 17 - Camping (5)

8 6 1
                                    

* * *

Beberapa menit lagi tiba di pos tiga. Di sanalah tempat sumber mata air sekaligus tujuan camping mereka.

Sebelumnya, Yaksa hanya mampu menggendong Reva melalui jalanan menanjak cukup terjal. Usai sampai di sana, lalu keduanya sekarang mendaki berurutan bersama Steva juga Jagguar, maka Yaksa menurunkan Reva. Itu pun didesak Reva karena tidak ingin terus dihina oleh Steva.

Jagguar berada di baris paling depan, barisan kedua Steva, barisan ketiga Reva, dan paling terakhir Yaksa.

Perjalanan kali ini tidak dirusak oleh omongan-omongan apalagi pertengkaran. Mereka semua saling diam. Hanya terdengar onggokan napas berat karena pendakian.

Rupanya Reva sedang melamun. Mengingat jelas apa yang ia lihat selama digendong oleh Yaksa beberapa menit sebelumnya.

Untung cuma halusinasi. Gue lihat kalau gue digendong Jagguar dan Steva digendong Yaksa. Bisa-bisanya halusinasi gue seburuk itu. Tapi ... Kalau gue lihat meski bayangan aja, Steva mesra sekali sewaktu digendong Yaksa. Mereka seperti pasangan sempurna.

"Lu gak papa, Rev?" tanya Yaksa tetap hati-hati melihat bawah agar langkahnya aman.

"Gak papa kok. Gue cuman bingung."

"Bingung apa?"

"Sebenarnya mana yang halusinasi dan nyata?"

"Maksudnya?"

Reva mengunci bayang-bayang di kepalanya daripada diucapkan secara langsung.

"Oh!" Steva menyahut. "Soal gue digendong Yaksa?"

Deg! Kedua mata Reva terbelalak. Bagaimana bisa Steva menebak isi kepalanya?

"Gue gak ngomong gitu," balas Reva cepat-cepat. Matanya melirik khawatir.

"Gak usah cemburuan gitu. Gue memang habis digendong Yaksa kok. Dan itu nyata." Pengakuan Steva semakin membuat Reva dihujani pedang api. Cukup sakit, dan membakar jiwa.

"Iya kan, Yaksa?" Steva menoleh belakang dengan senyum lebar bahagia.

Yaksa awalnya berdeham. Lalu, mengangguk.

"Kenapa lu minta digendong, Steva?!" Tentu Reva memarahi sahabatnya itu. Ia sangat tidak suka.

"Gue juga mau kali. Gak lu doang." Dijawab dengan gestur sombong, tanpa menoleh.

Gara-gara Steva kurang fokus usai menyahuti omongan Reva, tiba-tiba Steva jatuh tersungkur.

"STEVA!" kejut Yaksa serta Jagguar. Ditambah, Yaksa langsung mendekat.

Kecuali Reva, tetap diam menahan perasaan senang. Ia sudah menanti kalau alam akan menghukum Steva karena banyak melanggar aturan pendakian.

"Steva? Lu gak papa?"

Bahkan, pertanyaan itu dilontarkan oleh Yaksa. Bukan Jagguar. Pandangan Steva terbagi antara Yaksa serta Jagguar. Ia merengut sedih. Tak lama, mengeluh sakit.

"Gue kecapean." Mulailah Steva duduk, melepas tas carier.

Pengakuan Steva mempercundangi jalan pikiran Reva yang mengira kalau si rambut pirang itu tak punya batasan lelah. Steva bisa capek? Kenapa baru detik ini?!

"Yaksa ...," lirih Steva bersuara menggoda. "Bisa bantu gue gak?"

Diam-diam Reva memperhatikan reaksi Jagguar. Kelihatan jelas olehnya bahwa Jagguar bertampang marah. Diabaikan Steva dengan kecantikan di atas rata-rata sangat menyakitkan.

"Gue bisa bantu. Mau bantuin apa?"

"Yaksa ...." Sikap Yaksa terasa berbeda, tidak seperti awal menggendong Reva. Singkap mata Reva menjadi sayu. Kesedihan melanda perasaannya. Pengakuan Yaksa kalau ia membenci Steva, terkesan omong kosong.

"Bawain tas carier gue. Boleh?" Pupil mata Steva membesar. Pandai merayu selain pandai mencemooh.

"Eh-Eh ... Boleh." Jawaban Yaksa sedikit terbata-bata karena beradu tatap dengan nanar mata Reva. Lalu, ia berpaling mengikuti keinginan Steva.

"Aduh! Berat banget!" Aneh sekali, tas carier Reva terlalu berat diangkat seorang laki-laki sekuat Yaksa.

"ST-EVA ... Ergh! L-Lu-lu bawa apaan? Be-rat! Sumpah!" Usai memindahkan tas miliknya ke depan, sewaktu Yaksa mencoba mengangkat tas milik Steva, wajahnya menjadi merah dan urat dahinya keluar. Meski butuh waktu setengah jam menunggu Yaksa mengangkat tas, pada akhirnya ia berhasil memakai tas carier setara beratnya dua anvil.

"Hah ... Hah ... Hah ... Hah ...." Napas Yaksa kurang teratur. Berkali-kali ia batuk dan perutnya terasa mual.

"Lu gak papa?" tanya Reva menepuk pundak kekasihnya.

"Steva, sebenarnya lu bawa apa aja sih?" Badan Yaksa mengembang turun mengikuti pola napas. Tanpa sadar, ia telah mengabaikan perhatian Reva.

"Berat banget kan ya?" Senyum culas Steva timbul.

Anggukan Yaksa berlalu cepat. Sekadar memutar badan saja kesulitan saking beban tas carier Steva sangatlah tak wajar. "Sejak awal mendaki, jadi tas lu seberat ini? Kok lu kuat bawanya sih? Berat tas ini berasa bawa lima barbel!" Sampai-sampai Yaksa membungkukkan badan.

"Isinya cuman anak-anak kok," ucap Steva diselingi tawa geli.

"Stevanya." Jagguar menambahkan.

"Cuman anak-anak? Jangan bercanda!" Telapak tangan Yaksa mengibas udara, menertawakan.

Steva memicingkan mata. "Kuat gak? Kalau gak kuat, biar dibawa Jagguar."

"Gue? Gue sempat bawa tas punya Steva, gak bisa berdiri apalagi jalan selama tiga harian. Lu masih kuat juga ya, Sa," jelas Jagguar terkekeh segan.

"Masih kuat? Hufft!" Singkap mata Yaksa ditarik ke atas, berkali-kali bernapas menggunakan mulutnya.

"Yaksa ...."

Perlahan Steva berdiri, menghadap Yaksa dalam jarak cukup dekat. Tatapan Steva terlalu intens. "Terima kasih." Seenaknya Steva mencium sekaligus menyesap nikmat bibir Yaksa. Meski tatapan Yaksa terbelalak, bahkan sempat melirik takut ke arah Reva.

"STEVA!" Segera Jagguar menarik mundur Steva. Ia sama sekali tak menyangka kalau Steva akan melakukan ciuman menggairahkan.

"Ah." Liur panjang dari mulut Steva belum putus ketika melepas ciuman. Lalu, Steva tersenyum manis. Memiringkan kepalanya ke arah Reva. "Sorry." Punggung tangan menyeka bekas liur di bawah bibirnya. "Gue suka pacar lu."

"Yaksa ... Steva ..." Kekuatan mencintai Reva hancur sudah di depan mata. Bahkan, tak bisa berkutik apa-apa.

Gelagat Yaksa kebingungan. Lebih banyak menunduk. Antara syok dan merasa menang bisa mendapatkan ciuman perempuan secantik Steva.

Bahkan Reva gak pernah melakukan ciuman ini.

"Yuk, lanjut."

Reva, Yaksa, Jagguar diam membisu. Seenaknya Steva mendahului mereka sambil bersenandung merdu.

Jagguar menatap tajam Yaksa sebelum mengikuti jejak Steva. "Sayang, tunggu!"

Hanya tersisa dua orang yang perlahan mulai kehilangan minat bicara. Tatapan Yaksa seperti menolak kemarahan Reva, ia terus menunduk. Kemudian, Yaksa berjalan duluan membiarkan Reva menangani kalut batin perasaan. Semudah itu Steva mematahkan hati sahabatnya. Memang ia perempuan licik.

Langkah Reva lebih lambat ketimbang tiga baris anggota di depannya. Apalagi ia ditukar posisi menjadi paling akhir. Selagi berjalan, Reva mengambil sesuatu dari dalam pakaian, tepatnya arah dada. Ia mengeluarkan pisau buah. Berpindah penyimpanan ke dalam sela sepatu hiking.

Gue akan bunuh Steva! Yaksa! Jagguar!

Bersambung ....

S T E V A - Horror Story (TERBIT BUKU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang