PERBAIKAN

8 3 1
                                    



* * *

"Ah, Alexander."

Kemudian Stevanya berlari dengan pola kedua tangan ditekuk lebar, berayun serupa kepakan sayap burung.

"Alexander ...."

Kelincahannya berakhir di depan pagar kayu. Kedua siku Stevanya menyangga ujung pagar barusan. Kadang tersenyum, kadang bersuara sengau dengan perhatian sebuah saus mayonnaise.

"Andai kau akan menjadi suamiku ...." Membuang napas berat, lentik bulu matanya berkedip tak lebih dari angan-angan mendapatkan sosok dambaan.

Kesibukan Alexander dapat dicium bau hasil panennya, diceritakan dari mulut ke mulut, sekaligus melakukan tugasnya dengan sabar tanpa tahu ada yang sedang memperhatikannya.

Sebelum matahari merenggut kedamaian hatinya atau mengacaukan siul khas remaja laki-laki, Alexander tetap terbujuk hasil panen selama beberapa bulan melimpah ruah. Ia mencangklot tong anyaman kayu di belakang punggung, lalu berada di baris ke delapan untuk mencabut jagung masak dan masih tersisa ladang jagung subur. Tidak diketahui ke mana ayah serta ibunya, seakan-akan semua pekerjaan pertanian diselesaikan Alexander seorang.

Alexander bersedia melakukan semua tugas melelahkan itu sendirian. Ia hanya bersahabat dengan rasa syukur juga sengat matahari. Keberuntungannya ditutup hari ini, langit mendung tidak menurunkan hujan. Mungkin sebuah keuntungan atau hiburan yang dinanti banyak masyarakat desa.

Itulah alasan Stevanya selalu mencibir langit, membenci hujan karena elok rona paras cantiknya dihancurkan oleh deras air dari langit. Seolah-olah Stevanya bukan gadis berwarna. Seolah-olah warna pirang rambut yang selalu ia sombongkan, perlahan menjadi putih mengkilap, tak jauh dari ciri nenek tua yang hanya bisa terkikik.

"Ehm?"

Datang tiga remaja laki-laki bertubuh besar berjalan memasuki lapangan pertanian. Salah seorang di antara mereka tampak lebih pendek, namun kepalanya terlalu oval dengan leher yang kecil.

Fokus Alexander dialihkan, baru saja memegang sebuah jagung kuning sempurna hasil petik, badannya masih membungkuk.

"Kalian?" Alexander mengenali ketiga remaja tanpa sapa serta hanya meringis aneh itu.

"Hei! Alexander!"

Seorang paling tengah, badannya lebih berlemak, berbentuk seperti lonceng besar sebuah gereja. Kepalanya lebih kecil, apalagi giginya ompong.

"Roger?"

Alexander menyebut nama seseorang paling dulu melontarkan kata sapaan. Namun, memang seperti demikian cara meledek ala ketiga geng pengganggu.

"Deka, Arish?" Begitu sopan sekali Alexander menyebut setiap nama tamu-tamu tak diundang. Satu orang berkepala oval tadi bernama Deka, satu remaja lagi berambut keriting bundar dan bisa dikaitkan dengan sebutan si topi jamur.

Masing-masing ketiga remaja berparas pas-pasan, tidak selevel dengan kesempurnaan paras Alexander. Ketiganya mengenakan kemeja usang dengan warna serta tekstur yang berbeda.

"Siapa mereka? Aku rasa pernah mengenal mereka." celetuk Stevanya.

Kebetulan Stevanya berada di tempat sedikit lebih tinggi. Lebih jelasnya, si gadis rambut pirang menempati lokasi ladang jagung ketiga. Alexander berada di ladang jagung pertama. Jika ingin mendekat, Stevanya perlu waktu berlari. Setidaknya turun memijak anak tangga dari Hay bale. Jika tidak hati-hati, pasti terperosok. Ditertawakan gagak.

S T E V A - Horror Story (TERBIT BUKU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang