* * *
Tiga jam perjalanan dari pos dua menuju pos tiga mendapatkan hasil melegakan. Lelah raga yang dipaksa menanjak, bisa sepenuhnya terbayar dengan meluruskan kedua kaki atau bahkan mencuci muka pada sumber mata air jernih pegunungan. Hanya saja, sebenarnya kedamaian belum sepenuhnya dirasakan oleh Reva. Belum sama sekali, dan urusan hatinya belum terobati atau selesai hanya dengan dibiarkan.
"Reva! Bantu gue pasang pasaknya. Kenapa lu diam aja sih?!" protes Yaksa.
Dalam tahap merakit tenda, kerja sama sangat diperlukan. Selain kerepotan menyatukan tiang frame tenda, ada bagian lain yang harus diselesaikan orang lain. Yaksa mampu saja mendirikan tenda seorang diri, namun karena kehadiran Reva sangat dibutuhkan dalam hal ketelatenan, maka ia mengeluhkan kenapa Reva enggan membantunya mendirikan tenda. Padahal terpal telah dihamparkan ke atas tanah.
Posisi Reva di ujung terpal. Malas bicara. Mempertahankan muka suntuk akibat cemburu buta. Tugas Reva merekatkan lubang kain tenda dengan pasak, hanya saja Reva malah sibuk menyatukan frame. Lalu dilempar kasar ke arah Yaksa, berjarak tujuh langkah di depan.
"Reva! Lihat keadaan dong! Marah ya marah! Bantuin gue rakit tenda dulu! Kenapa gue semua yang handle?"
Hampir saja Yaksa terkena lemparan beberapa tiang frame. "Stop lempar-lempar! Kalau frame-nya patah, bokap gue bisa marah!"
"Oh." Akhirnya Reva bersuara. Suara yang tak seorang pun mau mendengarnya.
"Reva? Lu dengar gue gak?"
Perhatiaan Reva dialihkan ke tas carier miliknya di samping. Sibuk membuka isi tas, mengambil nesting. Semua itu ia lakukan dengan berat hati.
"Reva?"
Reva menganggap seruan Yaksa sebagai angin semata. Siapa juga yang mau merespons laki-laki bekas ciuman sahabat sendiri. Sebentar lagi Reva menghapus gelar sahabat menjadi mantan sahabat. Steva akan kena batunya.
"Reva?"
Napas berat Yaksa terembus. Terlalu frustasi sampai mengacak rambut. "DASAR BEBAN!"
Hinaan barusan menyentak Reva. Melotot kedua matanya, lalu ia berdiri cepat. Pergi meninggalkan Yaksa dan memilih menuju tempat duduk api unggun. Tersedia empat tempat duduk kayu melingkari kumpulan ranting kayu yang diselimuti kobaran api ganas.
Di hadapan Reva, tepatnya dibalik dinding api, duduk pula Jagguar sambil mematahkan ranting kayu, dibuang malas ke dalam amukan api unggun.
Jagguar diam-diam menangkap kesedihan dari raut wajah Reva. Saat itu Reva sesenggukan, menangis. Punggung tangannya tiada henti menyapu linang air mata.
"Hei."
Steva datang menghampiri lokasi perapian untuk menghangatkan badan. Tugas Jagguar memang membuat api unggun seorang diri.
"Steva? Sudah selesai merakit tenda?"
Isyarat kepala Steva menunjuk belakang. Berbeda dengan Yaksa yang kerepotan merakit tenda seorang diri, sedangkan tenda Steva telah selesai dibuat. Tenda kuning seterang rambut pirangnya telah berdiri tegak dalam sekejap. Steva mudah melakukannya. Teruntuk nasib Yaksa, menghabiskan banyak waktu menegakkan tenda tanpa bantuan Reva. Malang sekali.
"Steva? Oh, lu gak mau panggil gue dengan sebutan sayang lagi?" Bukan masalah besar bagi Steva. Mungkin saja cinta Jagguar telah sirna. Itu menguntungkan posisinya.
Kedua tangan Steva menyangga pinggul, tersenyum culas. Membagi tatapan antara Jagguar serta Reva.
"Cengeng." Kemudian Steva duduk pada satu bangku potongan kayu. Ia tersenyum menyeringai, berlama-lama menatap Reva.
"BAJINGAN!" Amukan Reva menjadi-jadi. Bola matanya mengkilap basah. "Gue bakal bunuh lu, Steva!"
"Oh." Steva bersikap biasa. "Boleh aja bunuh gue. Tapi, setelah gue bermalam sama Yaksa."
Seketika Reva berdiri, mengancam Steva dengan muka balas dendam. Ia pergi jauh entah ke mana. Selama kepergian Reva, tiada henti Steva mengulum senyum puas.
* * *
Andai Reva ikut dalam malam api unggun, pasti akan menjadi kenangan indah terbaiknya selama Yaksa ada di sampingnya. Keinginan itu telah luput karena Yaksa tak sebaik yang ia kira.
Tanpa Reva, ketiga anggota pendakian bercakap ria di depan kobaran api. Jagguar mulai larut dalam percakapan, meski perasaannya telah berbeda.
Yaksa serta Steva saling melempar tawa. Lama-kelamaan Jagguar menyingkirkan minat bicara. Hanya menunduk diam.
"Gue mau ambil chicken nugget dari dalam tas." Sesekali Steva masih tertawa, kemudian ia menarik tas carier miliknya di samping secara mudah agar bisa dipangku.
Senyuman riang Yaksa pupus, masih belum percaya kalau Steva cukup kuat mengangkat atau memindahkan tas carier.
Gue bahkan gak bisa angkat tas itu kecuali dengan tenaga penuh. Sialan, Steva ... Lu kenapa kuat sekali?
Tas carier Steva telah berada di atas pangkuan paha. Kedua betis putih mulusnya rapat bersentuhan. Mulailah Steva membuka perekat tas carier, seketika dari dalam tas, seorang anak kecil berciri sama dengan Steva mengangkat kepalanya yang telah menunduk cukup lama selama perjalanan hiking.
"Aku bebas!" Si gadis kecil sama cantiknya menendang tas carier sampai tas itu jatuh hampir terbakar kobaran api. Seorang Stevanya mulai merangkak keluar dari dalam tas.
"A-APA?!" kejut Yaksa, menganga takut. Ia berdiri menuntut kenyataan.
Jagguar terkekeh. "Dasar Stevanya."
"Ternyata kau belum mati juga ya!" ketus Steva kepada Stevanya.
Stevanya tertawa terpingkal-pingkal, badannya kotor terguling-guling ke tanah. "Kak Steva lucu."
"Gue kira anak ini akan mati karena kehabisan napas. Niat kami ingin membuang jasadmu ke hutan Avets. Agar tulangmu menjadi tunas baru di sana!" Begitulah pengakuan seram Steva.
"Kami?"
Steva mengangguk. "Gue dan Jagguar. Kenapa? Lu mau bantuin kita bunuh anak ini? Lagian anak ini lincah sekali!"
"Membunuhnya? Dengan cara apa?"
"Dikubur hidup-hidup." Ekspresi Steva datar. Melipat kedua tangan di tengah dada.
"Gue bawa pistol di tas. Perlukah gue tembak Stevanya?" Yaksa tahu tentang Stevanya karena ia pernah diteror olehnya. Tentu Yaksa menganggap keberadaan Stevanya adalah ancaman.
"Jangan dulu. Kita akan membereskannya ke dalam tenda." Segera Steva mendekati Stevanya. Lalu, menggendong anak gadis banyak tertawa itu. Ia tetap tertawa meski Steva membawanya menuju tenda.
"Ayo Jagguar."
Mendengar ajakan Steva, patuh adalah bakat alami Jagguar. Si sweater hitam itu selesai meneguk gelas besi berisi kopi panas dan berdiri mengikuti langkah Steva.
"Bagaimana denganku?"
Langkah Steva berhenti sejenak. Mengurai senyum manis penuh daya pikat. "Gue akan mampir ke tenda lu. Pastikan Reva tidak ikut tidur di dalam sana. Bye."
Yaksa senang mendengarnya. Muncul senyum kecil.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
S T E V A - Horror Story (TERBIT BUKU)
HorrorStevanya - Steva (Bisa berubah jadi anak kecil) Stevanya adalah gadis remaja rambut kepang dua blonde yang selalu terlihat di hutan. Kecantikannya selalu meluluhkan hati para lelaki. Mengencani beberapa lelaki, berujung hilang tidak pernah kembali...