BAB 5 - Stevanya! (1)

39 22 6
                                    

Bulan Juli,

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bulan Juli,

Kejadian mencekam itu belum hilang dari kepalaku. Aku yang telah menjadi sosok ayah ini. Dan apa yang telah aku perbuat pada Stevanya, anak gadis kecilku dengan rambut pirang bagai emas yang ingin direbut banyak orang.

Aku pikir, Tuhan memberiku kutukan karena dosa-dosaku sebelum menikah, sebelum aku bertemu Fisa Hamaland. Pesonanya, sungguh memikat daya tarik banyak pria saat itu. Ia wanita mandiri dari keluarga sederhana, aku selalu melihatnya bersenandung di dekat sungai sebuah taman di kota Aster. Setiap sore, kuperhatikan jika Fisa menyibukkan dirinya menggunting ujung bawah helai rambut, lalu membuangnya ke sungai. Kadang-kadang ia mencabut paksa helai rambut tanpa peduli bilamana rambutnya rusak atau kusut.

"Lucu sekali."

Sebuah kisah lama, pertemuan dan kisah cinta tak menantang. Pada akhirnya, kita menikah. Saat itu sungguh hari yang bahagia, karena aku mendapatkan dirinya.

Rumah tangga kami berjalan normal seperti pada umumnya, sampai tak terasa Fisa telah mengandung anak pertamaku.

Di sinilah semua ketakutanku melekat kuat, keadaan ketika Fisa menjerit di ruang persalinan rumah sakit. Ketegangan pasca melahirkan sungguh tak mampu mencegah degup jantungku agar tak memompa darah terlalu cepat. Nyatanya, aku keringat dingin menemani detik-detik lahirnya anak pertama kita berdua.

Akhirnya, bayi kecil cantik yang telah kami dambakan lahir. Fisa terkesiap lega, bersama dua suster yang justru melemparkan ekspresi tak biasa.

Kenapa bayiku tidak terdengar menangis?

"Siapa nama anak ini?" tanya salah seorang suster.

Aku terketuk, tak tahu harus mengarang nama yang pantas seperti apa? Aku mencoba menoleh Fisa, memberikan isyarat kepala sederhana yang mungkin pertanyaan suster tadi bisa istriku jawab. Meski keadaan Fisa terlalu lemas karena jeritan serta rasa sakit yang ia pikul hari ini.

"Berikan ia nama," lirih Fisa tak mampu mempertahankan senyum bahagianya. Ia lebih dekat dengan wajah sekarat.

Aku menunjuk diri sendiri. Lalu, bergeleng sadar bahwa aku tak mempersiapkan nama untuk sang buah hati. Mungkin setelah melihat wajah mungilnya, aku memiliki ide nama bagus.

"Biarkan kugendong," pintaku mengulurkan kedua tangan.

"Tidak. Biarkan ibunya melihat lebih dulu."

"Oh, tidak masalah."

"Aku ingin melihat putri kecilku." Fisa terenyuh penuh harap.

"Silakan." Salah seorang suster mendekat, melewatiku yang bahkan aku tak mendapat kesempatan mengintip wajah anak pertamaku. Padahal itu hak bagi seorang ayah.

"Dia cantik sekali," kejut Fisa terkekeh dan bisa kuperhatikan kalau dahi kepalanya basah akan bulir keringat.

Aku menahan jengkel, karena sampai detik saat ini, di ruang persalinan yang sempit serta penyebab napasku bak orang tercekik, aku tidak suka tempat sempit apalagi dalam kondisi sulit sebagaimana menatap ngeri proses kelahiran yang sejak dulu aku tidak terlalu peduli dengan peristiwa mengharukan itu. Hanya saja sekarang, semua hal yang aku benci datang. Aku berada di ruang persalinan dengan nyala lampu redup karena istriku. Semoga aku bisa segera keluar dari ruangan aneh ini.

S T E V A - Horror Story (TERBIT BUKU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang