Bab 23 - Steva menjadi Ibu (3)

8 8 6
                                    

"Kami membalas, dan ia (Stevanya) juga membalas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kami membalas, dan ia (Stevanya) juga membalas. Dunia selalu menghadirkan sampah dalam bentuk manusia, kita melawan dan menyingkirkan mereka."

- Alexander -


Malam bergulir menggantikan siang. Bintang-bintang bertaburan, perumpamaannya seperti seseorang mengambil segenggam butir mutiara, di lempar ke udara. Hamparan langit tak terlalu gelap, sementara sebagian rona langit bercampur merah kehijauan. Bukan Aurora, itu adalah penghias alami tanpa sebab yang selalu menjadi pertanyaan masyarakat perkampungan Chaspia.

"Ehm?"

Beberapa jam dilewati Stevanya dalam mimpi panjang kosong. Dibangunkan oleh jam tidur yang terlalu cukup. Sejak senja, sampai segalanya telah gelap.

"Aku ketiduran?" Keadaan Stevanya tertegun di atas kasur tanah lembab beraroma segar rerumputan. Di sana ia sedang tengkurap. Setelah membuka mata lebih lebar, iris biru matanya menjadi cahaya menguntungkan.

Meski Stevanya dikelilingi kunang-kunang, nampaknya serangga malam lebih menyukai cahaya dari iris mata biru Stevanya ketimbang lampu ajaib yang telah dikehendaki sang Maha Tunggal.

"Ah, nyenyak sekali!" Sebelah mata Stevanya terpejam, meliuk-liukkan nada menguap panjangnya diikuti perengangan satu tangan, sementara tangan lain mencengkeram batas punggung tangan.

"Jam berapa ini?"

Daripada berlama-lama duduk, Stevanya pun berdiri dan menyimpan tawa kecilnya ketika telapak tangan menutup mulut.

"Sepertinya aku merasakan sesuatu yang berbeda?"

Jam nonton pertikaian berdarah antara Alexander dengan Deka serta Roger dilupakan waktu. Termasuk kehadiran Stevanya sebagai penonton pengagum Alexander, mendadak akal sehatnya dibenamkan rasa kantuk. Stevanya teledor, malah ketiduran tanpa sempat bertepuk tangan, emosinya kerap gembira setiap mengingat wajah Alexander. Hanya Alexander.

"Alexander ... Sudah selesai?" lirih Stevanya merenungi hawa sunyi. Dari atas posisinya saat ini, terhampar ladang jagung luas dengan beberapa pasak tiang lampu bercahaya minim.

Tidak ada Alexander, suara-suara pembelaannya, tinju sekuat tulang, dan keikutsertaan angin dalam mengoyak helai rambut pirangnya.

"Ah, rambutnya pirang." Senyum simpul Stevanya terajut, membentuk bulat besar pupil bola matanya sampai sebesar bunga teratai.

"Alexander! Alexander ... Apa kau juga suka darah?"

Badan Stevanya berputar-putar secara apik, kedua tangannya ditekuk dan terlihat mengecil. Siang atau malam, gadis berambut pirang itu lebih sering tertawa, membiasakan diri sedikit tidur.

S T E V A - Horror Story (TERBIT BUKU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang