FOUR

159 22 0
                                    

Disclaimer:

All characters, events, and situations depicted in this novel are entirely fictional. Any resemblance to real persons, living or dead, or actual events is purely coincidental. The settings and organizations mentioned are also products of the author's imagination and are not intended to portray real locations or institutions. This work is created solely for entertainment purposes and does not reflect real-life scenarios or individuals.

***

"Warga Kampung Budaya Satu dipindahkan secara paksa untuk pembangunan industri oleh investor asing."

Masyarakat kukuh untuk menolak pembangunan industri di lingkungan warga Kampung Budaya Satu. Masyarakat Kampung Budaya Satu menerima surat edaran untuk relokasi dalam satu bulan, tempat mereka akan digusur untuk pembangunan kawasan industri yang diinvestasikan oleh investor asing.

"Katanya ada kompensasi uang sewa rumah dan makan. Tapi kalau kami pindah, pindah kemana? Kami mau makan apa?" ucap Burhan, salah satu penduduk yang keluarganya sudah tinggal disini dari sebelum kawasan ini dibuka.

"Dulu semuanya hutan, belum ada listrik. Kakek buyut saya yang buka lahan." ujarnya lagi.

Kabar Warga Kampung Budaya Satu ini tidak diliput media masa hingga pemberitaan relokasi dalam waktu dekat ini. Masyarakat mengatakan perlawanan dan ketidaksetujuannya atas pemindahan lokasi mereka. Selain kondisi ekonomi masyarakat sekitar yang menjadi pertimbangan, kawasan ini juga menyimpan sejarah bagi penduduk setempat. Penduduk merasa memiliki hak untuk tetap tinggal di lokasi saat ini dan tidak ingin dipindahkan ke lokasi manapun.

Hingga saat ini pemerintah lokal masih belum memberikan pernyataan resmi terkait permasalahan ini.

***

Nara keluar dari mobilnya. Beberapa anggota timnya yang sudah dipilih oleh Taksa juga turun dari mobil yang mengikutinya. Kampung Budaya Baru adalah kasus terbaru yang muncul di masyarakat. Setelah baru-baru ini Indonesia mendapatkan investasi dari negara asing, masyarakat di daerah ini diminta untuk relokasi. Dan tujuannya kesini adalah bertemu dengan orang-orang yang menolak untuk pindah dari tempat ini.

Ketika mendengar beritanya, Nara juga tidak mengerti.

Investasi adalah satu hal, namun memindahkan seluruh masyarakat di kampung yang sangat luas ini tidak masuk akal. Ia tak yakin akan membangun pabrik dan bangunan di seluruh daerah kediaman masyarakat, ditambah lagi kebanyakan masyarakat di daerah ini  bekerja sebagai nelayan. Mereka akan kehilangan mata pencahariannya dengan pindah dari daerah ini.

"Kalian sadar tadi diikuti oleh aparat?" Tanya Nara pada timnya. Ia menyadari tempat ini sangat dilindungi oleh aparat negara. Tidak banyak kendaraan yang berlalu disini.

Razak, ketua tim kampanye nya mengangguk, "I just noticed it."

Begitu sampai, Nara disambut oleh Marni, salah satu perempuan yang tinggal disana bersama kakeknya, Sudirman yang merupakan pemuka masyarakat yang dituakan di tempat ini.

Berada tidak jauh dari pantai, Nara berjalan perlahan melewati kayu-kayu yang menjadi jalan setapak menuju rumah tepi laut tujuan mereka.

"Mbak Nara, ini pertama kalinya ada yang datang kesini. Terima kasih ya." Ucap Marni sungguh-sungguh. Selama ini mereka berusaha menyuarakan ketidakadilan, namun tidak banyak media yang meliput dan partai politik yang mengunjungi mereka.

"Kalau bukan karena Mas Razak berbicara sebelumnya, kakek tidak akan menerima Mbak Nara." Ucapan Marni membuatnya menaikkan alis, "Kenapa?"

"Karena Pak Hartono awalnya janji tidak akan memindahkan kita jauh-jauh. Tapi beliau ingkar janji." Balas Marni lagi. Nara menyadari Hartono memiliki andil dalam masalah ini sebagai gubernur, dan berasal dari partai yang sama dengannya tentu saja memberikan sentimen buruk dari masyarakat.

Nara bersalaman dengan Sudirman, dan setelah berbasa-basi, mereka memulai pembicaraan tentang masalah yang menjadi akar utamanya.

"Untuk izin hak milik atau hak tinggal disini ada pak?"

Pak Sudirman mengangguk, seperti sudah mempersiapkan diri. Ia mengeluarkan sertifikat yang dikeluarkan hampir empat puluh tahun lamanya. Daerah yurisdiksi nya sudah lama tak ada, namun surat ini bisa dikatakan pegangan satu-satunya milik Pak Sudirman.

"Selama ini tidak pernah ada ajakan untuk membuat surat hak milik atau hak tinggal pak?"

"Gak pernah neng. Padahal saya sendiri yang buka daerah ini dulu, tebang pohonnya supaya bisa tinggal disini." ucap pria paruh baya tersebut. Kebanyakan masyarakat disini berpindah dari daerah asalnya yang juga tak jauh karena tidak ada sumber daya pada masa itu. Sehingga mereka membuka lahan dan membawa keluarganya kesini.

"Dulu kami dijanjikan akan tetap tinggal di daerah ini, hanya digeser saja tempatnya. Namun sekarang dipindah total, kami tidak terima."

"Siapa pak yang berjanji?" Tanya Nara.

"Pak Hartono."

Mendengar nama tersebut, Nara terdiam. Ia menyadari pria itu memiliki peran di dalam permasalahan di Kampung Budaya Satu ini.

"Selama ini baru pertama kali ada yang benar-benar mau mendengarkan. Beberapa waktu lalu ada partai mengantarkan makanan, tapi tidak ada aksi apa-apa. Kami bingung harus kemana." ucapan tersebut membuat hati Nara renyut.

"Saya dan Pak Hartono berasal dari partai yang sama. Tapi saya tidak setuju dengan sikap ini. Saya akan coba konsultasikan dan ajukan ke pusat agar menghentikan relokasinya. Selama tidak ada kejelasan dan kontrak yang jelas, tidak ada yang pindah." Tegas Nara memberikan sarannya. Beberapa pemuka masyarakat yang hadir mengangguk, sementara ia melihat beberapa anak kecil berlalu lalang penasaran.

"Tolong bantu kami, Mbak Nara." Ucap Sudirman. Nara mengangguk, membiarkan timnya mengambil beberapa gambar dari surat-surat yang ada di tangan Sudirman.

"Mbak Nara, saya mau bertanya." Seorang pria tiba-tiba mengangkat tangannya. Ia duduk di tepi pintu, Nara tidak melihatnya tadi saat masuk ke dalam tempat ini. Perempuan itu mengangguk, "Silahkan pak."

Pria itu berdiri.

"ANDA PENIPU! PEMBOHONG! ANAK PEMBUNUH NGAPAIN ADA DISINI." Koar pria tua itu lantang. Ia melempar Nara dengan air, yang untungnya tidak memberikan efek apapun kepada perempuan itu. Belum sempat Nara menyelesaikan rasa terkejutnya, pria itu berlari menjauh.

Nara menyadari beberapa mata yang berubah ke arahnya. Bisikan yang terdengar begitu lantang di telinganya mulai muncul, menyadari bahwa dirinya adalah anak dari Natanael Darsono yang muncul di dalam pemberitaan.

Razak mengambil jaket dan menutupi tubuh Nara dengan cepat, membawanya ke belakang rumah dan mempersilahkan seluruh orang yang datang untuk pergi.

"Ternyata anak pembunuh. Kok bisa mau jadi wakil rakyat?"

"Cari pencitraan ternyata."

Dan ucapan-ucapan lainnya muncul di tengah mereka.

Nara menutup kedua matanya dengan telapak tangan. Ia membutuhkan ruang untuk bernapas.

***

PASSIONATE ALLIANCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang