TWENTY

109 17 0
                                    

Disclaimer:

All characters, events, and situations depicted in this novel are entirely fictional. Any resemblance to real persons, living or dead, or actual events is purely coincidental. The settings and organizations mentioned are also products of the author's imagination and are not intended to portray real locations or institutions. This work is created solely for entertainment purposes and does not reflect real-life scenarios or individuals.

***

Suara teriakan dari para jurnalis yang berada di depan rumahnya berputar di kepalanya, berharap mendapatkan pemberitaan eksklusif tentang kasus ayahnya. Tapi terima kasih pada Taksa, mereka berhasil melewati keramaian dan sampai ke dalam rumah tanpa konfrontasi. Ketika pintu rumahnya berhasil ditutup, keributan di depan rumahnya terasa seperti dunia lain.

Setelah makan malam bersama, orang tuanya kembali ke dalam kamar mereka untuk bercengkrama. Ia hanya tersenyum, ibunya tidak meninggalkan sisi Nathanel sedetikpun, orangtuanya itu saling mencintai sejak pertama mereka bertemu hingga menikah dan memiliki dirinya. Ia selalu berpikir bahwa tatapan orang yang saling mencintai itu seperti kedua orangtuanya. Ia tak yakin gilirannya akan datang dalam waktu dekat.

Nara menarik Taksa ke dalam kamarnya. Mencari kedamaian dan ketenangan di tengah perasaannya yang masih berusaha mencerna semua yang telah terjadi. Nara bangga pada dirinya sendiri, karena kini keluarganya utuh kembali berkat kerja kerasnya ketika beberapa waktu lalu ayahnya diambang hukuman mati, dan keluarganya kehilangan semuanya.

Pria itu menatap sekelilingnya, ruangan yang dipenuhi warna pastel dan dekorasi halus yang mengisi ruangan. Tidak bisa disangkal bahwa ruangan ini adalah ruangan gadis–ah, atau ruangan princess. Beberapa boneka di atas kasurnya, dan foto-foto perempuan itu sejak kecil yang mengisi ruangan ini.

"Your parents really treat you as a princess."

Nara tersenyum, "They did. I am their love child. Walaupun sebenarnya aku berhenti suka warna pink di umur sepuluh dan tidak selembut yang mereka pikir." Balasnya santai. Walaupun ia dibesarkan dengan sisi halus dari Aruna, ia juga memiliki sisi berani dari ayahnya. Selama ia kuliah dulu, ia merasa kebebasan berkeliling Eropa dan melakukan semua yang ia inginkan sendiri.

"Aku bahkan tidak ingat apakah pernah lihat sisi ini saat kamu kecil. Did you change a lot?" Tanya Taksa tidak menahan rasa penasarannya. Ia menyadari selain mengetahui kehadiran Nara di masa kecil, ia tidak punya banyak memori tentang perempuan ini.

"Mungkin. Kenapa? Jangan bilang kamu menyesal karena sudah menjadi anak yang menyebalkan."

Taksa mengangkat alisnya, "Really?"

"Kamu gak ingat sama sekali ya? Walaupun kamu gak se-serius sekarang, tapi kamu sudah menunjukkan wajah lurus gak suka itu dari dulu. Untung aja kamu gak ngusir aku setiap aku muncul."

Taksa tertawa kecil mendengarnya, "Aku benar-benar menyebalkan ya saat kecil."

Nara mengangguk, "Tapi ada beberapa sisi kamu yang gak berubah." Ucapnya lalu melanjutkan, "kamu selalu tertawa lebar bicara sama sepupu-sepupu kamu. Kalian berlima itu gak terpisahkan. Dan walaupun kamu gak setuju dengan ide mereka, kamu selalu menuruti mereka. Contohnya saat mereka insist untuk bikin buket bunga di taman dan nainai ngamuk besar karena bunganya dihancurkan sama kalian."

Tatapan Taksa terlihat bersinar mendengarnya.

"Itu sudah lama sekali."

"Well, kebetulan aku disana jadi aku ingat. Karena itu aku yakin kamu orang baik, dan ketika kamu pacaran dengan Kalila, aku percaya kamu orang baik untuknya. Even though things didn't turn out well in the end."

Mendengarnya, senyum Taksa hilang dari wajahnya. Benar, bagi keduanya, atau setidaknya untuk Nara, dirinya bukan hanya kenalan sejak kecil. Tapi juga mantan kekasih dari sahabatnya sendiri.

"Let's not talk about other people today."

Nara mengangkat bahunya seolah tak peduli.

"Aku bakalan stay disini malam ini. Will you leave or.." Nara memberi Taksa opsi.

"I will stay here." Jawab pria itu cepat. Terbiasa dengan Nara disampingnya, ide untuk pulang ke kediaman mereka sendiri terasa tidak baik. Terutama tidak ada orang lain yang tinggal disana karena asisten rumah tangga mereka pulang setiap hari.

Nara mengangguk acuh. Berada di rumahnya bersama kedua orangtuanya adalah dreams come true untuknya. Jika bukan karena semua yang terjadi di hidupnya, ia akan berada disini sebagai fresh graduate yang akan memulai karirnya untuk magang di thinktank atau agensi pemerintahan, bukan menjadi politisi muda yang kini membawa pro dan kontra di tengah masyarakat. Namun lagi, kita tidak akan tahu potensi tanpa menghancurkan limitasi.

Tanpa Taksa, ia mungkin tidak akan seberani ini menghadapi semuanya. She hates to admit that the man in front of her has become someone important to her.

Seperti mengingat sesuatu yang penting, Taksa mengambil sebuah kotak kecil dari kantong celananya dan menyerahkannya ke tangan Nara.

"What is it?"

Penasaran, Nara membuka kotak beludru tersebut dan menemukan kalung yang terlihat manis dengan berlian berwarna biru di tengahnya. Terlihat manis dan membuatnya terkesiap.

"Kamu tahu dari mana aku suka diamond?" Tanya Nara. Sejak kecil, ia suka membeli tiara dan aksesoris. Memang terdengar berbeda jauh dengan Nara yang keras kepala, agresif dan tajam sebagai politikus saat ini. Tapi apakah dia bisa menyalahkan bagaimana ia dibesarkan?

"I heard you were raised as a princess. Papa kamu tidak setuju kamu belajar politik, benar?" Ucap Taksa memvalidasi asumsinya. Ia bertemu Nara kembali di fase perempuan itu memiliki ketangguhan dan keberanian, hal itu juga yang membuatnya mengajak Nara untuk beraliansi. Karena ia percaya perempuan ini memiliki apa yang dibutuhkan. Di waktu-waktu sebelumnya, ia tidak menaruh sedikitpun energi untuk mengerti sosok Nara yang sebenarnya.

Harus ia akui, mendengar tentang Nara dari kacamata Tabitha membuatnya belajar banyak.

"Sayangnya orang tua tidak akan pernah menang dari anak. Walaupun aku tidak berencana aktif sebagai aktor di politik, aku suka belajar tentang politik dan intriknya."

Taksa memberikan senyum, "Dan sekarang kita bisa melihat dunia politik tanpa kamu akan sangat rugi. As much as you hate being in the spotlight, you enjoy it."

"Untuk alasan apa kamu kasih ini?" Tanya Nara lagi. Selama pernikahan mereka, Taksa memenuhi semua kebutuhannya. Mulai dari black card yang pria itu berikan ketika kartunya di nonaktifkan, fasilitas, dan semua dukungan dalam pekerjaannya. Pria itu juga memborong dan mengisi wardrobe nya setelah ia pindah. Namun ini pertama kalinya pria itu memberikan sesuatu yang diberikan langsung untuknya, secara spesifik.

"Dominique bilang kamu akan menyukai hadiah ini dari aku." Nadanya terdengar kaku, ia melanjutkan, "I would like to apologize for how emotional I was after the accident. I didn't handle it well." Ucapnya.

Nara memberikan ekspresi terkejut, dan senyum mengembang di wajahnya. "It is okay. We are in this together, right? We are an alliance." Balas perempuan di hadapannya dengan nada manis. Tidak butuh banyak kata untuk Taksa belajar bahwa Nara terlihat senang dengan permintaan maafnya. Ia berpikir untuk berinvestasi dalam film terbaru sepupunya itu sebagai hadiah, karena Tabitha memberikannya ide cemerlang. He doesn't like seeing her straight expression, seperti yang Nara berikan padanya beberapa hari ini.

Ia berjalan mendekat, secara lembut memasang kalung tersebut di leher Nara. Berlian yang menangkap cahaya di setiap geraknya. Nara menatap refleksi dirinya dalam kaca. "It's beautiful."

Kemudian ia menutup matanya, mengambil kontrol dari perasaannya yang sulit ia deskripsikan sejak kejadian minggu lalu itu.

"Lain kali, kamu cukup membeli aku es krim." Balas Nara lagi.

Taksa tertawa ringan, terdengar tulus. "Note that."

***

PASSIONATE ALLIANCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang