TWELVE

122 23 1
                                    

Disclaimer:

All characters, events, and situations depicted in this novel are entirely fictional. Any resemblance to real persons, living or dead, or actual events is purely coincidental. The settings and organizations mentioned are also products of the author's imagination and are not intended to portray real locations or institutions. This work is created solely for entertainment purposes and does not reflect real-life scenarios or individuals.

***

Pria itu menyandarkan tubuhnya kedepan, kedua matanya berpapasan dengan Nara.

"Kamu bicara tentang tanggung jawab. Berarti aku boleh minta hak aku?"

Nara mengernyitkan dahinya. Tatapan panik dari kedua matanya membuatnya terlihat manis di mata Taksa.

Taksa berdiri, menggendong tubuh Nara dan menaikkannya ke salah satu meja yang kosong. Beruntung ruangan ini dipesan khusus untuk mereka berdua atau apa yang dilakukan Taksa ini akan membuat perempuan terpekik.

"Kamu mau apa?" Suaranya terdengar panik.

Ia memberikan seringaian yang tak pernah Nara lihat sebelumnya. "Aku meminta hak aku, Nara. Bukankah aku sudah bilang di hari pernikahan kita?"

Nara menelan ludahnya, "Aku bisa mengembalikkan uang kamu. Atau kamu mau sesuatu?"

Perempuan ini menatap kearah Taksa yang menundukkan kepala ke arahnya. Pria itu terlihat menggoda dengan kemeja hitamnya. Untuk kesekian kalinya ia harus mengatakan pria ini memiliki karisma yang menghentikannya.

"Aku mau kamu."

Nara merasakan rasa pahit dari kopi yang dikecap pria itu sebelumnya. Ia menekan bibirnya ke miliknya dengan paksa. Awalnya ia terkejut setengah mati, kemudian perlahan emosinya bercampur aduk sembari ciuman itu semakin dalam.

Tangannya menyentuh pinggangnya lembut, sembari pria itu memainkan lidahnya di dalam mulutnya. Ia menutup mata, menikmati sentuhan yang pria ini berikan. Perlahan, ia merasakan pria itu beralih ke kemejanya, mulai membuka kancingnya. Ia melepaskan diri, menggapai udara.

"Lihat kita ada dimana, Taksa." Ucapnya serius.

"Mereka pasti mendengar kita dan kalau mereka punya nalar, tidak ada yang berani masuk ke tempat ini."

"Taksa."

"Julien." Balas Taksa tegas. "Panggil nama aku yang benar, ma princesse."

Nara memutar matanya mendengar panggilan manis dalam bahasa Perancis dari bibir Taksa.

Pria itu menatapnya dengan obsesi, "Kenapa kamu selalu berpikir mengenal aku? You don't know me, Nara." Tangannya melanjutkan aksinya, membuka kancing pakaian Nara dan menyentuhnya lembut sembari ia memberikan ciuman singkat di bibir Nara.

"Dalam pernikahan kita, aku berjanji tidak akan menemukan orang lain. Kamu juga harus begitu."

Nara mengangguk, "Aku tidak punya waktu untuk hal lain."

"Karena itu aku juga punya kebutuhan. I have needs and I want you."

Nara menatapnya dengan ekspresi menantang sekaligus pasrah. Sentuhan dari Taksa terasa menyenangkan. "Kalau begitu aku akan izinkan kamu mencari orang lain untuk memenuhi kebutuhan kamu."

Pria itu menggeleng, "Aku tidak butuh orang lain. Nara, Limawan tidak pernah selingkuh dari istri mereka. Limawan harus menjadi pria yang setia selama pernikahan." Sekali lagi Taksa menyebutkan prinsip yang ia miliki sebagai pria dari keluarga Limawan. Sesuatu yang tidak ia ingin tahu.

"Kita kesini untuk makan."

Taksa mencium leher milik Nara, sejak ia melihat perempuan ini menguncir rambutnya dan menunjukkan lehernya, ia sudah penasaran. Reaksi apa yang Nara akan berikan ketika ia memakannya. Ia baru menyadari bahwa dibalik ekspresi serius dan keberaniannya, perempuan itu bisa terlihat mungil seperti rusa yang hilang arah.

"Aku sedang makan."

Nara meringis ketika merasakan gelitikan dari setiap sentuhan yang Taksa berikan. Pria itu melahapnya dengan kasar di atas meja makan, membuatnya merasa seperti hidangan yang diberikan pada Taksa.

"Taksa, please."

Suara Taksa menjadi semakin intens, "Kenapa? Jangan bilang kamu belum pernah melakukan ini sebelumnya."

Pipi Nara memerah.

"Kamu belum pernah melakukannya?" Kali ini ucapannya terdengar seperti pernyataan dibandingkan pertanyaan.

Taksa menghentikan tangannya.

"Would you dare to say that you don't want it?" Tanya Taksa yang terdengar seperti paksaan. Ia menatap kedua mata Nara secara intens. Perempuan ini terlihat berantakan dengan kemeja yang terbuka, bibir yang bengkak dan rambut yang sedikit teracak. Lo harus tahu Nara Darsono adalah perempuan yang dinanti banyak orang.

Ia teringat ucapan William. Ia menyadari Nara terlihat indah. Ia mulai melupakan janjinya untuk melindungi Nara. Ia ingin menghancurkan perempuan ini. Ingin mendengar ia menjerit di bawahnya dan memeluknya erat.

Taksa juga memiliki kepercayaan diri. Sebagai salah satu bachelor dari empat persaudaraan Limawan, ia mendapatkan banyak atensi. Ia selalu percaya dengan kemampuannya mengendalikan semua hal untuk berjalan sesuai tempatnya. Dan ia percaya Nara juga menemukannya seseorang yang atraktif.

Nara mengalihkan pandangannya, suaranya hampir tidak terdengar, "Hanya fisik."

Taksa meraih wajah Nara untuk melihat ke arahnya. "Aku tahu kamu juga tertarik."

Perempuan ini tidak bisa menolaknya. "Hanya fisik." Ia mengulanginya.

Ia tahu ia akan menyesali ucapannya ini. Karena dari semua pelajaran tentang percintaan yang ia dapatkan sebagai seorang teman perempuan bagi banyak orang, ia tahu bahwa hubungan seksual tidak akan mudah dilupakan. Sulit untuk menjaga hubungan platonik ketika semua yang dilakukan hanya akan membuat seseorang jatuh cinta. Physical touch is one of them.

Tapi ia menutup matanya dan mengingatkan dirinya kembali. Ia adalah seorang Nara Darsono yang tidak mudah jatuh cinta. Buktinya selama dua puluh tiga tahun ia hidup, ia tidak pernah jatuh cinta dan memberikan hatinya kepada siapapun. Being attractive is not enough to get her heart.

Ia mendekatkan bibirnya pada telinga perempuan itu. "Then let's make the most of it, Nara. While it lasts."

Di momen ini, Nara hanya berharap bahwa ia bisa menjauhkan perasaan dalam hubungan mereka. Hubungan yang tidak mudah dijelaskan dengan kata.

***

PASSIONATE ALLIANCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang