Shilla Agista Florentina dan Galaksi Andromeda Sakti adalah dua siswa dengan reputasi sempurna di sekolah mereka. Namun, keduanya memiliki sisi gelap yang tidak diketahui orang lain. Shilla memiliki kemampuan melihat masa depan yang membuatnya meras...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Setetes air mata jatuh ke atas kertas yang berada di genggaman tangan Shilla. Shilla tidak pernah membayangkan bahwa kejadian mengerikan pernah menimpa Galaksi bahkan sampai membuatnya membenci diri sendiri selama bertahun-tahun.
Namun, mengetahui kejadian sepuluh tahun lalu yang diceritakan Galaksi melalui suratnya mendadak membuat kepala Shilla pusing. Bayangan dentuman saat kecelakaan mobil, tangis, teriakan histeris, dan bau amis darah yang membasahi jalan beraspal kembali menyerang Shilla.
Membayangkan hal mengerikan itu, meskipun Shilla tak ingin, membuat napasnya tersengal-sengal, dadanya terasa sesak, dan keringat dingin membasahi pelipis serta telapak tangannya. Shilla hampir mengambil obat penenang yang ada di dalam tasnya, tetapi ujung matanya melihat jari Galaksi yang bergerak.
“Galaksi?” panggil Shilla seraya berusaha sekuat mungkin mengatur napasnya.
Shilla pun segera melupakan obat dan bayangan itu kala Galaksi yang terbaring lemah mulai membuka matanya perlahan.
***
Begitu Galaksi sadar, Shilla langsung menghubungi Bagas, dokter sekaligus paman yang bertanggung jawab atas kondisi Galaksi. Setelah melakukan beberapa pemeriksaan, Bagas mengatakan kalau kondisi Galaksi baik-baik saja dan tidak lama lagi akan pulih.
Bagas pergi ketika sudah memastikan kondisi Galaksi baik. Sementara itu, Shilla segera menghubungi Aruna, Keanu, Rhea, dan June untuk mengabari kalau Galaksi sudah sadar.
Shilla tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk menghadapi pasien yang baru saja sadar. Jadi, sambil menunggu teman-temannya datang, dia hanya duduk di samping tempat tidur yang ditempati Galaksi sambil meremas ujung kertas yang berada dalam genggamannya sejak tadi.
Sama halnya dengan Shilla, Galaksi juga tidak mengatakan sepatah kata apapun. Dia bingung harus mengatakan apa dan mulai dari mana. Namun, ketika menyadari bahwa kertas dengan tulisan tangan yang tidak asing di tangan Shilla itu ternyata adalah suratnya, wajah Galaksi memerah.
Shilla yang menyadari wajah Galaksi yang memerah langsung panik. “Lo kenapa? Perlu gue panggilin dokter?”
“Gak usah,” jawab Galaksi singkat seraya membuang wajah ke sisi yang berlainan, bersembunyi dari Shilla yang terus menatapnya dengan panik.
“Beneran? Muka lo merah banget takutnya lo–”
“Gapapa, Shilla,” ujar Galaksi menegaskan. Dia menghela napas. Daripada Shilla terus-terusan mengkhawatirkan dirinya, lebih baik dia jujur saja. “Gue cuma malu.”
“Malu?” Shilla kebingungan. “Malu kenapa?”
Galaksi pun menunjuk beberapa lembar kertas yang dipegang oleh Shilla. “Lo udah baca?”
“Oh,” Shilla menatap sekilas kertas-kertas itu. “Udah,” jawabnya dengan suara pelan.
“Ini dari paman lo,” jelas Shilla, takut Galaksi berpikir kalau Shilla mencurinya dari rumahnya mengingat bagaimana cara Shilla dan teman-temannya masuk ke rumah Galaksi dengan memecahkan kaca seperti maling.