Prologue

64 3 0
                                    

Air mataku menetes kala aku menghamparkan sajadahku dalam sebuah mihrab redup yang biasa Zhafira gunakan untuk berdialog kepada Tuhan. Sesekali kutatap tempat tidur kosong dan dingin yang berada di samping tempat tidurku, Saudah sedang tidak ada di tempatnya, dia bilang malam ini dia akan menginap di tempat seorang teman untuk menyelesaikan thesisnya. Zhafira telah bahagia dengan pilihan hidupnya, begitu pun dengan Fariza. Dan aku, masih disini.

Aku menghela napasku pelan kala bulir tasbih bergulir di antara jemari dinginku. Aster di jendela kamar ini tampak bermekaran dengan indahnya bersamaan dengan hydrangea blue yang Zhafira berikan kepadaku untuk terakhir kali sebelum dia berpamitan pergi yang entah kemana.

"Dhaniya," suara itu masih terdengar begitu jelas di telingaku.

Senyuman sosok indah itu masih terekam jelas dalam memori ingatanku. "Ali bin Abi Thalib pernah berkata bahwa cinta tak harus memiliki satu sama lain, melainkan juga melepaskan."

"Yusuf," gumamku.

"Kamu berhak bahagia dengan ketentuan Allah yang sudah terukir di Lauhil Mahfudz-Nya, Dhaniya," suara Zhafira kala itu membuatku kembali tersadar.

Semua ini tak ada gunanya.

"Astagfirullahaladzim," gumamku kala derai air mataku kembali mengalir dan membasahi mukenah yang kukenakan.

"Ikhlas Dhaniya," suara itu membuatku menoleh dan menatap sosoknya.

"Shania?" aku tersenyum menatap sosoknya yang berjalan ke arahku dan memelukku.

"Ingat kata Zhafira, kamu berhak bahagia. Ingat bagaimana Zhafira mendukungmu untuk menyelesaikan thesismu di Boston University? Dia akan selalu ada untuk membantumu menggapai impianmu. Jadi, sudah saatnya untuk melepaskan dan kembali ke jalanmu. Ini bukan tentang Yusuf, tapi tentang masa depanmu, Dhaniya. Zhafira ingin kamu kembali bangkit dan menggapai itu semua."

"Kamu sudah tau kemana Zhafira saat ini?" Tanyaku pelan kepada sahabatku ini.

"Zhafira tidak memberitahumu?"

Aku menunduk piluh sembari menatap buku-buku jariku yang mulai memucat.

"Dia memberitahuku, tapi aku terlalu takut menghadapinya. Sejak kejadian 1 tahun yang lalu, aku takut jika harus melihat kebahagiaannya bersama Yusuf. Aku tau aku salah dan aku belum bisa bersikap dewasa, tapi bohong jika aku tidak merasa sakit ketika melihat Yusuf menentukan pilihannya dan itu bukan aku, Shania."

Shania tersenyum lembut menatapku. Tatapannya begitu teduh dan menenangkan duniaku yang masih berkecamuk dengan banyaknya dilema yang harus aku hadapi. Aku tau bahwa aku selalu menghindari banyak tantangan yang ada di hadapanku dan memilih jalan yang tercepat. Tapi, kala aku mengingat sosok Zhafira, sepertinya aku mengikhlaskan segalanya, karena aku tau bahwa aku tak bisa memudarkan pesona Cleopatra sebagaimana Zhafira dengan begitu beraninya menghalau banyak tantangan hingga menghancurkan matriks Cleopatra sepenuhnya.

Aku tatap kembali Shania yang masih menatapku dengan senyum indahnya. Sudah lebih dari 5 tahun aku mengenal sosoknya sebagaimana aku mengenal sosok Zhafira. Dan di kala aku tak mampu menemukan tangan Zhafira kala ini, Shania selalu mengulurkan tangannya untuk membantuku.

"Zhafira berada di Inggris, setelah dia menyelesaikan thesisnya di MIT, dia dan Yusuf berencana untuk berpisah sementara karena dia harus melanjutkan gelar phD nya di Oxford dan Yusuf harus kembali ke Yaman sebelum pindah ke Turki untuk melanjutkan pendidikannya," jelas Shania.

"Jadi, Zhafira sudah berhasil menggapai mimpinya ya?"

"Belum." Balas cepat Shania.

"Kamu berpikir dia sudah bahagia? Kamu salah, Dhaniya."

I am not MarionetteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang