Cahaya Yang Hilang

19 3 0
                                    

Diary sang musafir:

"Mungkin tidak banyak yang tau, tapi jika meneliti lebih dalam lagi, maka kamu akan menemukan sosok diriku yang hancur di setiap senyumku. Batinku menjerit kala aku kembali menatap mata indahnya yang tak pernah luput dari pikiranku. Senyumnya yang indah membuatku ingin terus berlari menggapainya. Namun saat seseorang mengatakan, 'cukup, bukan kamu hatinya,' harapan itu pupus. Tapi bukan kah tidak ada kemustahilan di dunia ini?"

———

Jika banyak asumsi yang mengatakan bahwa lebih baik datang ke Paris di musim semi atau gugur, kalian salah. Bagiku Paris memiliki pesona indahnya di musim panas. Bagaimana sejuknya udara di Benua Eropa ini dengan pancaran hangat matahari yang bersinar lebih lama, atau bagaimana kita bisa menjelajah tempat-tempat ikonik di kota ini dengan pencahayaan yang cukup memadai untuk kamera kalian. Bagiku, Paris di musim panas adalah kota cahaya yang sesungguhnya.

Pagi ini aku berniat untuk mencari sarapan hangat di Rue Mazarine sembari berjalan-jalan menikmati kota ini sebelum penelitian yang akan aku mulai di keesokan harinya. Jalanan cukup ramai di pagi ini kala aku berjalan santai menyebrangi Sungai Seine menuju jalanan yang menjadi tempat favoritku di sini. Setelah perjalanan panjangku kemarin bersama Zarel dan Axel, aku mulai sadar bahwa ada banyak misteri sejarah di kota ini yang belum aku jelajahi. Bagaimana mereka menjelaskan sejarah kota ini membuatku membuang paradigma burukku bahwa sejarah itu hanya tentang tahun. Dan di sini lah Dhaniya baru berada, berjalan di sepanjang Panthéon yang berada di sekitar Rue Mazarine sembari membawa coklat panas yang kubeli bersama croissant hangat di kedai kecil di ujung jalan.

Dan aku di sini, di hadapan sebuah bangunan indah bergaya Roma yang sangat aku ingat bagaimana sejarah kelam dari Eropa yang Axel jelaskan kepadaku. Bibliothèque Mazarine, entah bagaimana aku membaca kalimatnya, yang pasti Mazarine Library adalah perpustakaan tertua di Prancis yang masih berdiri kokoh di jantung kota Paris. Perpustakaan ini terletak di 23 Quai de Conti, Paris, yang masih berada di zona Rue Mazarine. Aku sempat janjian dengan Aliyah di perpustakaan ini nanti sore. Tapi, mengingat tidak ada yang bisa aku lakukan di apartemen dan Zarel atau pun Axel memiliki kesibukan mereka masing-masing, maka aku memutuskan untuk melihat-lihat perpustakaan ini, atau membaca beberapa buku hingga pikiranku teralihkan dengan kesendirianku di kota besar ini.

Setelah aku menghabiskan croissant dan coklat panasku, aku mulai memutuskan untuk memasuki perpustakaan ini. Udara di Paris pagi ini cukup dingin dan sejuk, namun saat aku memasuki bangunan ini hangat menerpa diriku, aroma buku tua yang usang, suara lembaran buku yang di balik, kesunyian, atau bahkan aroma tinta dan suara stempel penanda buku-buku ini seakan membuat diriku merasa tenang.

"Bonjour," sapa seorang wanita paruh baya yang menjaga perpustakaan ini dengan ramah.

"Bonjour," balasku.

Aku berjalan di sepanjang koridor bangunan dengan dinding buku yang luar biasa, sebenarnya buku-buku ini berada di rak dan ditata dengan rapi, tapi mengingat banyaknya buku yang aku perkirakan mencapai angka jutaan ini benar-benar memenuhi rak bangunan ini hingga aku pun tak tahu apa warna dinding dari bangunan ini dan berapa tingkat rak yang menampung buku-buku ini. Jika aku berfantasi tentang Dark Academy maka Bibliothèque Mazarine adalah tempat yang sangat tepat. Aku bahkan merasakan seolah tersihir oleh bangunan ini, entah apakah hanya fantasiku, tapi itulah yang aku rasakan.

Tatapanku tertuju pada salah satu buku tentang cerita anak yang bertuliskan menggunakan Bahasa Inggris. Setelah banyaknya buku yang aku lihat di sepanjang koridor perpustakaan ini, ada lebih dari lima terjemahan yang bisa aku tangkap di sepanjang arah pengelihatanku, atau bahkan lebih banyak dari itu. Aku menggapai buku cerita anak bergaya script kuno itu dengan hati-hati. Buku ini lumayan tebal dan berat, kertas-kertasnya sudah lumayan menguning, bahkan buku ini ditulis menggunakan alat ketik di abad pertengahan, sangat bisa aku lihat dari gaya tulisannya dan gaya diksi bahasanya, sampulnya masih menggunakan kulit binatang yang disama' dan dipress sebelum tulisannya dicat menggunakan warna emas yang sedikit pudar karena termakan waktu.

I am not MarionetteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang