Diary sang musafir:
"Aku membuka mataku kala suara itu kembali membangunkanku. Dan kala aku menatap sekitarku, hanya kesunyian yang tak meninggalkan bekas, namun selalu merambat menuju keheningan dalam kepalaku. Selalu terlintas di benakku sebuah suara lirih 'aku takut,' tapi ucapannya kembali menampar hatiku yang masih diselimuti ketakutan. Bangun! Sudah saatnya kamu kembali ke dunia nan fana ini, karena ini lah kenyataan yang sesungguhnya."
———
Setelah lebih dari 7 jam perjalananku melintasi benua dengan berbagai keunikan di setiap negara di dalamnya, di sini lah aku sekarang, negara besar nan indah yang memiliki banyak pesona dengan kota yang dikategorikan sebagai tempat paling romantis di dunia. Perjalanan dari tempat ini ke London hanya membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam menggunakan transportasi umum jika aku sudah menyiapkan mentalku untuk bertemu dengan Zhafira. Hanya saja, bukan sekarang waktunya.
Paris-Charles de Gaulle Airport tampak begitu ramai pagi hari ini. Aku sengaja mengambil penerbangan malam tanpa transit agar bisa menikmati indahnya kota ini di pagi hari. Aku sengaja langsung menuju ke 5 Rue Lucien Sampaix, Paris, untuk menikmati sarapan hangat populer yang disajikan di cafe Holybelly yang terkenal sangat authentic.
"Puis-je vous aider, mademoiselle?" Tanya seorang pelayan muda yang cantik saat aku duduk di salah satu tempat duduk di dekat jendela.
"Sorry, but I don't speak french," balasku ramah.
"Oh, I see. Sorry, miss. May I help you?" Ujarnya lagi dengan ramah.
"Saya ingin memesan hot chocolate dengan ekstra krim."
Pelayan itu mencatat pesananku dengan begitu teliti.
"Apakah anda juga ingin memesan makanan, miss?" Tanyanya.
"Yes, give me halal food, please!"
"Bread, butter, and jam with glutten free and vegan, it's the best here," sahut seorang laki-laki berambut kecoklatan yang duduk di bangku sebelahku.
"Sorry, but I don't like veggies," balasku pelan.
"Oh, I see. Bagaimana dengan something sweet?" Tanyanya ramah.
"I like it," balasku.
"Kalau begitu," dia menatap sang pelayan dengan senyuman indahnya, "give her a pancake with butter and rasberry jam."
"Yes sir, noted."
"Thank you," ucapnya kepada sang pelayan sebelum pelayan cantik itu meninggalkan kami.
"And thanks for recomending me," ucapku kepada laki-laki itu dengan ramah.
Laki-laki itu tersenyum, wajahnya berseri dengan rambut kecoklatan yang terpapar cahaya matahari dari jendela kaca Holybelly. Senyumannya tampak indah yang senada dengan mata hazelnya yang berkilat sempurna di antara tajam sorot matanya. Tampaknya laki-laki ini berasal dari eropa, namun bukan dari Prancis. Aku bisa tau hal itu dari logat bahasa Inggrisnya yang sempurna. Bukan seperti warga lokal yang berbicara bahasa Inggris dengan logat Prancis yang membuatku bingung menangkap artinya.
"My pleasure," balasnya singkat nan ramah.
"American or African?" Tanyanya ramah.
KAMU SEDANG MEMBACA
I am not Marionette
RomanceTantangan adalah hal yang selalu aku hindari dalam hidupku. Hal itu membuatku harus merasakan banyak penyesalan yang tak ingin aku ulang kembali. Mataku menatap bangunan kokoh ini dengan banyaknya sejarah masa lalu yang membuatku segan dan merasa hi...