Diary sang musafir:
"Batinku kembali menjerit menatapnya, mata tajamnya bak elang mengingatkanku pada tajam sang dzulfikar kala menyayat kabut di tengah porak porandanya umat. Sayatan itu cukup dalam dan membuat sang malam menjerit penuh luka. Bulan menangis menatap mata sang penyandang nama yang menitihkan air mata mulianya. 'Yang dia butuhkan bukan seorang yang memeluknya di kala sendirian, melainkan seseorang yang menamparnya dan berteriak bahwa ini bukan akhir dari segalanya,' ucapan sahabatku kala itu masih tengiang di telingaku. Pedih rupanya kala aku mengatakan pada diriku bahwa Tuhan akan selalu berada di pihakku, nyatanya aku tak sekuat itu"
———
Edinburgh siang ini cukup cerah walau pun sedikit mendung terlihat menghiasi langit indahnya di antara bangunan-bangunan bohemia yang memukau. Aku mengaduk chocolate iced yang aku pesan tanpa mengatakan sepatah kata pun. Bahkan tiramitsu cake yang aku beli juga belum tersentuh sama sekali. Sir Walter's Cafe in the Gardens siang ini cukup ramai, setelah pertemuan tak terduga kami beberapa saat lalu, Yusuf lantas mengajak kami bergabung. Lantas kami berjalan menuju Kiosk 4c, Princes St, Edinburg, dan berakhir di sini.
Aku menunduk menatap minumanku kala mata Aliyah menyipit menatap kedua laki-laki yang kini tengah mengobrol di hadapan kami. Aku tak tau apa yang harus aku lakukan, sungguh. Apa Zhafira tau bahwa Yusuf ada di sini? Apa aku perlu menghubunginya? Atau apakah aku harus menghubungi Shania? Batinku menjerit kala aku mengangkat pandanganku pada laki-laki itu. Senyumnya masih sama, tatapan tajam itu tak berubah, hanya saja sebuah cincin indah melingkari jari manisnya, dan itu membuat hatiku tersayat kembali. Aku kembali membuka luka lama yang sudah berusaha ku sembunyikan.
"Bagaimana dengan karya selanjutnya, Zayn?" Tanya Yusuf kepada Zayn yang menyeruput espresso nya tanpa berekspresi.
"Akan aku diskusikan kembali dengan Peter nanti," balas Zayn yang tanpa kusadari bahwa laki-laki dingin ini tampak banyak bicara dengan Yusuf, bahkan tak sekali dua kali dia tersenyum pad sosok itu.
"Istriku bilang jangan di waktu yang dekat, kesibukan dia di Oxford membuatnya tak sempat menyelesaikan lukisannya di musim ini."
"Yeah, dia mengatakan kepadaku bahwa jadwal di komunitas Oxford Student membuatnya stress."
Yusuf mengangguk pelan, "itu juga membuatku stress."
"Tunggu!" Ucapku menengahi yang membuat kedua laki-laki itu menatapku.
"Kamu mengenal Zhafira, Zayn?" Tanyaku.
Yusuf terkekeh pelan sembari menyeruput cappuccino hangatnya yang kembali mengingatkanku pada Zhafira kala kami berada di Boston. Lantas laki-laki itu menunduk teduh menatap cappuccinonya dan mengaduknya pelan.
"Zayn adalah saudara Zhafira, Dhaniya," ucapnya teduh.
"Apa?"
"Siapa Zhafira?" Bisik Aliyah kepadaku.
"Pelukis Masterpiece of Sea, kamu pasti tau karya itu Al," balas Zayn tenang.
"Lukisan yang dibeli Zarel?"
Zayn mengangguk.
"Jadi, dia adalah...."
"Yusuf adalah suaminya dan dia adalah saudaraku," jelas Zayn to the point yang membuat Aliyah mengangguk mengerti.
"Sudah lama kita tidak bertemu, Dhaniya. Bagaimana kabarmu?" Tanya Yusuf masih dengan tangan yang mengaduk cappuccinonya tanpa menatapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
I am not Marionette
RomanceTantangan adalah hal yang selalu aku hindari dalam hidupku. Hal itu membuatku harus merasakan banyak penyesalan yang tak ingin aku ulang kembali. Mataku menatap bangunan kokoh ini dengan banyaknya sejarah masa lalu yang membuatku segan dan merasa hi...