Diary sang musafir:
"Kala aku menatap indah malam dengan berbagai pesona sang rembulan, aku selalu yakin bahwa malam tak selamanya menakutkan. Namun saat aku membayangkan sebagaimana indah pesonanya bak rembulan di langit, dia benar. Bahwa malam selalu membutuhkan cahaya sang pemeran utama untuk menghiasinya di antara gemerlap bintang. Tapi, jika bintang saja tak akan bisa menyaingi perannya, apalagi malam yang mengandalkannya? Sebagaimana diriku bak malam yang senantiasa mengandalkan sosoknya untuk menerangi diriku yang bertabur bintang namun tak mampu menyandinginya."
———
Malam di Edinburgh begitu gelap dan dingin. Mataku menatap indah langit dengan hiasan bulan purnama yang tampak indah. Musim panas membuat kota ini merasakan cahaya matahari yang sedikit lama dengan waktu malam yang lumayan singkat. Mulai terbesit dalam benakku bahwa hari ini sungguh indah, namun aku mulai terganggu dengan keindahan itu. Bagaimana dengan Zhafira? Apakah dia juga merasakan hari yang indah di sana sendiri sementara aku menikmati hariku bersama Yusuf di sini?
"Aku harus kembali ke Paris besok pagi," ujar Aliyah memasuki kamar kami dengan wajah panik.
"Kenapa tiba-tiba Al?"
"Shafiya bilang ada sedikit masalah di Observatoire de Paris dan aku harus memeriksanya," jelas Aliyah segera berkemas.
"Dimana Yahya?" Sahut Kalea yang mengikuti langkah Aliyah dengan wajah yang sama paniknya.
"Yahya masih melakukan projeknya di Paris Tech, kita tidak bisa membebankan semua padanya, Kale."
Terdengar dengusan gusar dari sosok Kalea yang tampak berat dan membebaninya. Gadis itu mengacak rambutnya frustasi sebelum merebahkan dirinya di atas tempat tidur.
"Apa Shafiya tidak bisa menanganinya sendiri Al?" Tanyaku pelan.
"Tidak, Dhan. Itu bukan tugasnya."
"Lalu kamu akan meninggalkanku dan Kale disini?"
"Penelitian ini sangat penting, Dhaniya. Zayn sudah berjuang untuk mendapatkan projek besar ini dengan Edinburgh University. Kita tak bisa melepasnya begitu saja. Aku akan kembali ke Paris besok pagi, dan kalian tetap disini bersama Zayn."
Aku menghela napas pelan sebelum mengangguk mengerti. Aku tau bagaimana Aliyah menceritakan perjuangan Zayn untuk penelitian besar ini sejak dia masih di Harvard. Begitupun dengan banyak hal yang mereka lakukan demi mengamati banyak projek yang PSL sediakan. Aku menunduk pelan menatap Aliyah yang berkemas dengan tenangnya. Ponselnya menyala dengan banyaknya email yang masuk dan membuatnya gusar.
Aku kembali menatap indah langit malam Edinburgh yang tampak bak lukisan indah di antara bangunan gothic yang memukau. Seuntai senyum terukir indah di antara bibirku kala angin menyapu lembut wajahku dengan lirihnya.
"Kamu tau ini lukisan apa, Dhan?" Tanya Zhafira kala kami sedang berjalan-jalan di Museum of Modern Art (MoMA) yang berada di New York City 2 tahun yang lalu.
"Ini lukisan yang sangat terkenal, tapi aku lupa judul lukisannya apa."
"The Starry Night karya Vincent Van Gogh."
"Ah iya Van Gogh's masterpiece."
Lantas Zhafira tersenyum menatap kembali lukisan di hadapannya.
"Ini lah lukisan yang asli, Dhaniya. Mungkin kamu sempat berpikir banyaknya pameran Van Gogh menjadikan harga lukisan ini turun karena banyak tiruannya. Tapi tak akan ada yang bisa menandingi keasliannya."
"Jadi maksudmu, lukisan di depan kita ini adalah lukisan originalnya?"
Zhafira mengangguk membenarkan ucapanku dan itu membuatku mulai memfokuskan pandanganku pada sang mahakarya. Aku tak percaya bahwa aku bisa melihat mahakarya asli dari sang masterpiece tepat di hadapanku. Dan itu membuatku terkagum dengan gaya lukisnya yang unik, walaupun aku tak sepaham sahabatku dalam hal seni.
KAMU SEDANG MEMBACA
I am not Marionette
RomanceTantangan adalah hal yang selalu aku hindari dalam hidupku. Hal itu membuatku harus merasakan banyak penyesalan yang tak ingin aku ulang kembali. Mataku menatap bangunan kokoh ini dengan banyaknya sejarah masa lalu yang membuatku segan dan merasa hi...