Diary sang musafir:
"Luka itu impas, kala aku menyakiti hatinya, hatiku juga merasakan luka yang sama. Lucu ya, dunia ini memang kadang suka mempermainkan hatiku. 'Karena hatimu bukan sepenuhnya milikmu, kamu tak memiliki kendali atas apa yang ada di dalam hatimu. Tuhan lah yang memiliki semua kendali itu, jadi jaga hatimu. Tapi bukan untukku, melainkan untuk-Nya,' kata-kata itu selalu menamparku akan kenyataan pahit yang selalu menghantuiku di sepanjang perjalananku."
———
Siang ini cukup sejuk kala aku berjalan di sepanjang Rue Mazarine sembari menikmati indah pemandangan kota. Aku terpaku menatap nuansa Bohemian yang Rue Mazarine sajikan di sepanjang mataku memandangnya. Suasanya yang ramai dengan pelancong dari luar Paris bahkan luar Prancis yang memiliki beragam keunikan atau hanya sekedar mahasiswa atau pekerja dari beberapa pertokoan atau universitas di sepanjang jalan ini.
"Rue Mazarine," ucap Zhafira pada saat itu.
"Apa itu?" Tanyaku bingung menatap sorot tajam matanya yang berkilauan dengan penuh antusias.
"Rue Mazarine adalah salah satu jalan yang paling menarik dan bersejarah di Paris. Terletak di arrondissement ke-6, jalan ini membentang dari Rue de Buci yang ramai menuju tepi Sungai Seine dimana menghubungkan kawasan Saint-Germain-des-Prés dengan Jembatan Seni. Dan kamu tau Dhaniya, di sepanjang jalan itu, bangunan, pertokoan, bahkan rambu-rambu di sekitarnya masih tertata dengan begitu epic dengan nuansa Bohemian yang penuh sejarah."
Aku mengangguk kala mendengar ucapan itu, terbayang dalam pikiranku kala itu bagaimana indah Rue Mazarine yang Zhafira ceritakan dengan begitu antusiasnya mengingat bagaimana dia mencintai seni dan sejarah di baliknya. Aku bahkan ingat bagaimana Zhafira menjadi pendiam selama sepekan karena bergelut dengan sebuah buku biografi dan sejarah yang berjudul "Adolf Hitler" serta sejarah perang dunia II, atau buku "Sejarah Revolusi Prancis" dengan tebal seribu halaman lebih.
Dan sekarang, aku di sini. Di tempat dimana Zhafira pernah menceritakan sejuta pesona dari Rue Mazarine yang penuh dengan sejarah menarik di baliknya. Aku menatap indah gedung-gedung tinggi bernuansa abad pertengahan yang masih berdiri dengan kokoh dan terawat. Sesekali aku mengambil gambar setiap sudut jalan ini dengan kamera DSLR yang ku bawa.
"Akan aku pamerkan foto-foto ini kepada Zhafira nanti," ucap batinku merasa bangga bahwa aku berada di tempat ini lebih dulu dari sahabatku.
Namun, kala aku tengah memfokuskan lensa kameraku pada sebuah gedung indah di ujung jalan, seseorang mendorongku hingga tanpa sengaja aku menjatuhkan kameraku di atas jalan Rue Mazarine.
"Astagfirullah," kejutku.
"Oh mon Dieu, je suis désolé. Je ne voulais pas," ucap seseorang yang menabrakku dari belakang.
"Sorry, I don't speak French."
"Oh my God, I'm sorry. Aku tidak sengaja," ucap laki-laki ini dengan nada yang dipenuhi penyesalan.
"It's okay," balasku sembari menggapai kameraku yang terjatuh.
"Apa kameramu rusak?"
"Sepertinya baik-baik saja," ujarku sembari memeriksa kameraku.
Aku terdiam masih dengan fokusnya memeriksa kameraku. Segalanya terlihat normal hingga kala aku mulai memfokuskan lensanya, aku menemukan sebuah goresan di lensaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
I am not Marionette
RomanceTantangan adalah hal yang selalu aku hindari dalam hidupku. Hal itu membuatku harus merasakan banyak penyesalan yang tak ingin aku ulang kembali. Mataku menatap bangunan kokoh ini dengan banyaknya sejarah masa lalu yang membuatku segan dan merasa hi...