Sejarah Sang Romantika

22 3 0
                                    

Diary sang musafir:

"Aku menatap indah kota dengan sejuta romantika di dalamnya. Hatiku tersayat kala aku tuliskan indah diksi yang menceritakan indah rasa yang kembali membuatku terpesona. Bisa kah aku mengikuti sang elang yang terbang tinggi kala aku hanya lah menganggap diriku seekor pinguin yang terjebak dalam dinginnya es yang membelenggu. 'Pinguin memang tak bisa terbang, tapi dia bisa berenang dan meluncur di atas es yang tak akan bisa dilakukan oleh seekor elang,' ucapan itu kembali membuatku tersadar bahwa aku tak harus menggapai langit dengan mati-matian."

———

Aku menengadahkan tanganku menghadap indah kiblat dengan mihrab berlantai zamrud yang indah. Setelah beberapa saat berjalan dari Rue Mazarine menuju 2bis Pl, du Puits de l'Ermite, Paris, Prancis, aku dan Zarel memutuskan untuk melakukan shalat ashar di Grande Mosquée de Paris. Sebenarnya hanya aku mengingat Zarel adalah seorang katholik yang taat.

"Orthodok, Dhaniya," revisinya kala aku menebak agamanya hanya dengan menatap kalung salib yang terpasang pada lehernya.

Ya apa pun agama Zarel, bukan kah yang terpenting adalah bagaimana kita menjaga toleransi antar umat beragama? Sesaat setelah aku menyelesaikan ibadahku, aku memasang cadarku dan berjalan keluar dari Grande Mosquée de Paris kala mataku tertuju kepada Zarel yang duduk di kursi taman masjid dengan menara persegi yang megah ini sembari membaca buku sejarah tentang Eropa.

"Zarel," panggilku.

"Sudah, Dhaniya?"

Aku mengangguk kala laki-laki tampan itu merekahkan indah senyumannya. Dia lantas beranjak dari tempat duduknya dan kembali memasukkan buku tebalnya tentang sejarah politik kerajaan Eropa yang berjumlah 3000 halaman ke dalam tas tansel yang dia bawa.

"Ingin langsung menuju 60 rue Mazarine?" Tawar Zarel ramah.

"Maaf?"

"Mengunjungi PSL."

"Oh iya, tentu saja," balasku cepat kala kami berjalan kembali ke Rue Mazarine.

Sore ini begitu indah kala aku menatap indah senja nan bergemilang menghiasi jalanan kota Paris dengan gedung ala Bohemia klasik yang menjulang tinggi. Sesekali aku mengambil gambar dari kamera DSLR-ku di sepanjang jalan dan sudut kota yang indah. Sesekali pula Zarel menunjukkanku bangunan-bangunan megah penuh sejarah yang wajib aku abadikan selama berada di kota Paris.

"Kamu tau sejarah PSL University?" Tanya Zarel kala kami berjalan menusuri jalanan ramai Rue Mazarine.

"Tidak," balasku singkat.

"Kamu tidak mencari taunya?"

"Aku tak begitu suka sejarah."

"I see, aku pikir kebanyakan anak sains akan menyukai beberapa mata pelajaran sosial, khususnya sejarah."

"Iya, tapi aku bukan salah satu di antaranya."

"Kenapa?"

"Aku tidak begitu suka membaca sejarah."

"Banyak tahun yang dihafalkan," tebak Zarel dengan kekehan khasnya.

"Aku juga berpikir begitu," tambahnya.

Aku terkekeh membenarkan ucapan Zarel yang sama sekali tak salah. Lagi pula aku yakin bahkan anak sejarah tak akan bisa menghafalkan banyaknya tahun hanya dalam 1 kejadian. Kecuali jika orang itu benar-benar maniak sejarah. Aku masih ingat bahkan guru sejarah SMA-ku saja mengatakan bahwa dia tak hafal semua tahun terjadinya peristiwa heroik di Indonesia sebelum bahkan sesudah Indonesia merdeka.

I am not MarionetteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang