Diary sang musafir:
"Dear sang pemilik hati, rasa takut ini kembali menjalar ke seluruh tubuhku dalam getaran yang tak pernah kurasakan. Ternyata aku terlalu lemah untuk melawan atau bahkan menerima banyaknya takdir yang tersaji di depan mataku. Indah kota ini seakan menjadi sebuah kesunyian kala aku kembali menatap sosok indahnya setelah sekian lama aku ingin mengubur perasaan ini. Tuhan, izinkan aku untuk kembali merasakan getaran itu, namun bukan untuk dia."
———
Hari sudah menjelang sore kala aku berjalan di sepanjang koridor Grande Mosquée de Paris. Aku menatap indah masjid ini setelah sepanjang hari mengelilingi Sungai Seine. Karena siang tadi kami baru sempat melakukan shalat dhuhur yang sangat mepet dengan waktu ashar, Aku memutuskan untuk tetap tinggal di masjid ini hingga waktu ashar tiba. Awalnya aku merasa ragu karena aku akan meninggalkan Zarel di waktu yang lama, tapi rupanya laki-laki itu tak masalah dengan keputusanku, bahkan justru mendukungku untuk tetap di masjid ini dan berdialog dengan Tuhan.
Aku terus berjalan di sepanjang koridor masjid ini sembari melihat-lihat indah masjid megah ini di pusat kota Paris yang dipenuhi arsitektur Romawinya yang kental. Tak berapa lama aku terdiam dan menghentikan langkahku kala mendengar lantunan indah ayat suci Al-Quran yang berasal dari salah satu sudut masjid ini.
Perlahan aku memasuki pintu masuk di sisi masjid ini dan berdiri di ambangnya kala mataku menatap sekitar, hingga tatapan itu terhenti kepada sosok luar biasa yang tengah melantunkan Al-Quran dengan begitu indahnya. Setiap tajwid yang diucapkan dari mulutnya begitu indah dan detail, setiap khuruf dengan berbagai macam bacaan hinga waqaf dan washal dengan mudah dan indahnya dibacakannya. Aku pernah mendengar irama bacaan ini sebelumnya, sebuah irama yang sering Yusuf gunakan saat taqliq bersama anak-anak di Gaza. Sebuah irama indah yang selalu terngiang dalam anganku di kala aku membuka kembali kitab suciku.
"Itu namanya irama nahawand," ucap Zhafira kala itu saat kami mengintip sosok Yusuf dan anak-anak yang berada di dalam tenda kami.
"Indah," gumamku kala itu menanggapi ucapan Zhafira.
"Iramanya yang indah atau yang membaca yang indah?" Goda Zhafira kala itu yang membuatku menunduk dengan pipi yang bersemu.
Aku kembali menatap sosok itu dari kejauhan, iramanya menggema memenuhi ruangan khusus masjid ini dengan begitu indahnya. Lagi-lagi aku dibuat terpesona oleh sosoknya. Ketegasannya, kepiawaiannya, kebaikannya, hingga bagaimana dialognya dengan Tuhan.
"Yusuf," gumamku pelan sembari menunduk hingga sosok itu menyudahi bacaannya dan menoleh menatapku.
"Dhaniya?" Panggilnya yang membuatku menatap sang sumber suara dan menyipitkan pandanganku tak percaya.
"Axel?" Kejutku.
"Sudah dari tadi disana?" Tanya Axel sembari merekahkan senyuman indahnya.
"T-tidak, maaf aku hanya sedang lewat dan tak sengaja mendengarnya."
Axel terkekeh pelan menatapku.
"Tidak apa-apa, Dhaniya."
"Bagus."
"Maaf?"
"Bacaanmu dan irama nahawand yang kamu gunakan."
"Kamu mengerti iramanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
I am not Marionette
RomanceTantangan adalah hal yang selalu aku hindari dalam hidupku. Hal itu membuatku harus merasakan banyak penyesalan yang tak ingin aku ulang kembali. Mataku menatap bangunan kokoh ini dengan banyaknya sejarah masa lalu yang membuatku segan dan merasa hi...