Diary sang musafir:
"Jika keindahan itu adalah sebuah luka, maka aku siap terluka untuk menggapainya, begitu lah kata-kata itu terucap dari bibir sahabatku kala itu. Namun, aku tak akan siap terluka untuk menggapai keindahan itu. Terlalu menyakitkan bagiku. Aku akan tetap diam hingga tak akan ada yang mengalihkan perhatiannya kepadaku, seperti itu lah aku menghindari luka dan rasa sakit itu tanpa melawan. 'Itu lah yang membedakanmu dengannya. Jadi, di kala kamu menginginkan dia dan dia juga menginginkanmu, Tuhan memberikannya sosok yang dia butuhkan,' kata-kata itu kembali membuatku terbelenggu."
———
"Hai Dhan, bagaimana kabarmu?" Tanya Shania saat aku menelponnya malam ini.
"Alhamdulillah, kamu sendiri bagaimana, Shan?"
"Alhamdulillah," ucapnya.
"Sudah dapat balasan dari Zhafira?"
Aku kembali terdiam mendengarkan ucapan itu.
"Aku sedang di bandara, Dhaniya."
"Kamu mau kemana, Shan?" Tanyaku bingung.
"Aku ingin menghadiri pelatihan psikologi di Edinburgh, kamu mau menyusul?"
"Apa kamu akan bertemu Zhafira juga di sana?"
Terdengar helaan napas dari Shania dengan pelan. Sahabatku itu terdengar juga tengah mengemban beban yang begitu berat saat ini, entah apa itu.
"Kamu kabur ya?" Tanyaku pelan.
Shania terkekeh mendengar ucapanku itu.
"Kenapa aku harus kabur?"
"Shan?" Panggilku pelan.
"Alright, you got me dude. BU menyiksaku dengan Profesor Hilton yang terus mempertanyakan banyak hal dan memintaku untuk membaca 3 buku psikologi berjumlah 1 juta lebih halaman setiap harinya. Aku tak sanggup, Dhaniya."
Aku terkekeh mendengar pengakuan sahabatku itu. Aku juga tau bagaimana tegasnya Profesor Hilton saat aku mengikuti kelas psikologinya 2 tahun yang lalu.
"Aku tau, tapi dia melakukan itu demi kita juga," ucapku.
"Aku menyesal dengan rekomendasimu tentang beliau. Aku tak akan pernah mengambil kelasnya lagi tahun depan."
Aku kembali tertawa mendengar keluhan sahabatku sembari merebahkan diri di atas sofa apartemenku kala mataku menatap bunga mawar merah yang berada di vas di atas mejaku. Bunga mawar merah yang aku beli bersama Zarel kala kami menuju Louvre ini masih mekar dengan indahnya. Dan tanpa sadar, aku mengangkat bibirku dan tersenyum kala mengingat moment menakjubkan kami di Louvre.
"Oh iya, Dhan. Soal Zhafira, dia tak akan datang. Jadwal dia di Oxford terlalu padat. Dia mengikuti komunitas Oxford Student dan mulai meliput banyak hal untuk majalah mereka," ucap Shania menjelaskan.
"I see, tapi aku baru memulai penelitianku besok. Sepertinya aku juga tak akan bisa datang, Shan."
"Tidak masalah, Dhaniya."
"Kecuali..."
"Aku harus mempersiapkan barang-barangku untuk mengikuti experiment trip di Edinburgh," ucap Zayn sebelum dia mengembalikan buku bacaannya tadi sore di Mazarine Library.
"Kecuali apa?" Tanya Shania bingung.
"Akan aku usahakan, Shania. Aku akan pergi ke Edinburgh dan menemuimu."
"Benar kah?"
"Insyaallah."
———
KAMU SEDANG MEMBACA
I am not Marionette
RomansaTantangan adalah hal yang selalu aku hindari dalam hidupku. Hal itu membuatku harus merasakan banyak penyesalan yang tak ingin aku ulang kembali. Mataku menatap bangunan kokoh ini dengan banyaknya sejarah masa lalu yang membuatku segan dan merasa hi...