Diary sang musafir:
"Batinku selalu menjerit kala aku menginginkan kebebasan dari masa lalu yang terus membelengguku. Ini melelahkan. Namun, kala aku melihat sahabatku, dia seakan menggunting setiap benang merah yang melilit tubuhku menuju bayangan kelam yang tak ingin aku lihat. Tapi, munafik jika aku bisa menerima segalanya di kala aku sudah menemukan cahayaku dan segalanya telah hilang. Pun munafik jika aku mengatakan bahwa aku bisa melupakan segalanya dan memulai dari awal. Nyatanya diriku masih terbelenggu oleh benang merah yang aku ciptakan sendiri tak peduli seberusaha apa aku melepaskannya dan kabur dari kenangan itu."
———
Aku menatap indah sosokku di hadapan cermin sembari bersiap. Jam menunjukkan pukul 8 pagi dan Zarel akan datang 1 jam lagi. Jujur, aku menyukai apartement yang diakomodasikan PSL Research University kepadaku selama aku melakukan penelitian di laboratoriumnya. Rue Coquillière, sebuah kawasan strategis di Paris yang menyuguhkan pemandangan pusat kota yang begitu luar biasa. Lokasinya berada di dekat Museum Louvre di seberang Sungai Seine dan Rue Mazarine, butuh waktu kurang lebih 15 menit menggunakan transportasi umum untukku menuju PSL Research University.
Tak berapa lama, ponselku berdering. Nama Shania tertulis jelas di layarnya hingga tanpa sadar senyumku merekah indah saat tanganku dengan cepat menjawab panggilan videonya.
"Halo Dhaniya," ucapnya antusias.
"Hai Shania, apa kabar?"
"Alhamdulillah aku baik. Bagaimana kabarmu?"
"Alhamdulillah aku juga baik."
"Bagaimana Paris? Bagus?"
"Subhanallah, Shania, Paris indah sekali. Kamu tau aku kemarin berkeliling Rue Mazarine hingga Panthéon menuju Sorbonne dan PSL Research University," jelasku bersemangat.
"Masyaallah, aku juga mulai berkeliling Masachusetts."
"Kamu harus mencoba ice cream di Sundae School. Aku dan Zhafira sering membeli ice cream itu di sana selama kami masih di Massachusetts."
"Noted, akan aku coba kapan-kapan," balas Shania penuh semangat.
"Sudah mengobrol dengan Zhafira?" Tanyanya pada akhirnya.
Aku terdiam sejenak kala mendengar kata-kata Shania yang membuatku semakin terbelenggu oleh kesalahan yang aku perbuat. Namun, mengingat bagaimana pesan singkat kami terakhir kali, senyumanku mulai merekah tipis kala menatap indah wajah sahabatku di seberang sana. Dia sedang duduk di sebuah perpustakaan bergaya klasik yang aku yakini bahwa dia sedang mengunjungi perpustakaan MIT alih-alih perpustakaan Boston University sendiri. Dan lagi-lagi itu membuatku mengingat bagaimana aku 3 sampai 2 tahun yang lalu lebih menikmati untuk menghabiskan waktuku belajar di perpustakaan MIT, terlepas dari adanya Zhafira dan Abigail di sana.
"Dhan."
"Ah iya, Shan?" Balasku gelagapan.
"Sudah mengobrol dengan Zhafira?"
"Kami mulai mengirim pesan lagi."
"Bagus lah kalau begitu."
"Aku juga mengirimkan dia banyak foto yang ku ambil selama di Paris."
"Aku yakin dia pasti ingin datang ke Paris."
KAMU SEDANG MEMBACA
I am not Marionette
RomantizmTantangan adalah hal yang selalu aku hindari dalam hidupku. Hal itu membuatku harus merasakan banyak penyesalan yang tak ingin aku ulang kembali. Mataku menatap bangunan kokoh ini dengan banyaknya sejarah masa lalu yang membuatku segan dan merasa hi...