Jerit Batin

11 3 0
                                    

Diary sang musafir:

"Ketika aku membuka buku, aku tak menemukan sepatah kata pun. Lantas seseorang mengambil buku tersebut dariku dan berkata, 'indah sekali kisah ini.' Dari sana lah aku sadar, bahwa bukan buku ini yang kosong melainkan aku yang buta hingga tak pernah menyadari keindahan kisah di dalamnya. Sama halnya sebagaimana aku yang selalu menyalahkan banyak hal di sekitarku tanpa menyadari bahwa sebenarnya takdir Tuhan itu lebih indah dari apa pun di dunia ini."

———

Pagi ini tampak sedikit cerah walaupun mendung terkadang terlihat menghiasi langit Edinburgh dengan sejuta pesonanya. Aku berjalan santai dengan Aliyah di Royal Mile sembari menikmati indah kota tua Edinburgh. Pagi ini Shania mulai mengikuti pelatihan psikologi di University of Edinburgh dan aku bersama timku akan memulai penelitian kami keesokan harinya selama 6 hari ke depan. Yusuf bilang bahwa Kota ini merupakan pusat Zaman Penerangan dipimpin oleh Edinburgh University sehingga tampak jelas banyak situs pendidikan yang terukir dalam sejarah kota ini mengingat bahwa Universitas itu merupakan salah satu dari Universitas tertua di dunia, tentu saja setelah Oxford.

Aku mengambil banyak gambar di setiap sudut kota ini hingga tanpa sadar ponselku berdering. Sebuah nama yang kembali membuatku terbelenggu oleh dilema berat dalam hidupku tertulis jelas di layarnya. Aku membeku di tempat tanpa memiliki niat untuk menjawab panggilan ini. Aku terlalu bingung.

"Dhan, kenapa tidak dijawab?" Tanya Aliyah yang membuyarkan lamunanku.

"Aku masih bingung bagaimana aku akan menghadapinya Al."

"Zhafira?"

Aku menatap Aliyah dengan sorot mata penuh belenggu duniawi yang tak akan pernah bisa aku hilangkan dari diriku. Lantas aku mengangguk pelan membenarkan ucapan Aliyah yang sama sekali tak salah.

"Lalu sampai kapan kamu akan seperti ini Dhan? Sampai kapan kamu membiarkan Zhafira terbelenggu dengan penyesalannya?"

Aku menunduk pelan mendengar ucapan Aliyah. Munafik jika aku juga tak merasa bersalah, namun bohong juga jika aku sudah mengikhlaskan segalanya, apalagi dengan kehadiran Yusuf di Edinburgh hanya membuatku terus mengaguminya tanpa mampu melupakannya. Karena nyatanya, aku tak akan bisa melupakannya sampai kapan pun.

"Dhan?"

Aku kembali mengangkat pandanganku menatap Aliyah. Tatapan gadis itu sendu dan menenangkan diriku yang terikat akara jauh di relung kegelapan hatiku. Aku tak sanggup menghadapi semua ini.

"Biar aku yang angkat," suara itu membuatku menoleh menatap sang sumber.

"Zayn?" Gumamku.

"Zhafira kan? Kalau kamu tidak mau mengangkatnya, biar aku yang mengangkatnya."

Perlahan aku serahkan ponselku pada Zayn yang kini menjawab panggilan itu. Lantas aku membalikkan tubuhku kala aku menatap sosok itu yang kini menatap Zayn dengan wajah yang pucat dan tatapan sendu penuh rasa penyesalan dan kesedihan. Aku tak pernah melihat Yusuf seperti ini. Tasbih bergulir di antara buku-buku jemarinya yang pucat. Matanya tertunduk menatap jalanan kota Edinburgh sehingga mengingatkanku pada kesantunannya kala menghadapi Dzulfikar dan Syeikh Rasyid di padang pasir kala itu. Namun, keberanian itu seakan hilang terhempas desir pasir tanpa meninggalkan jejak.

Sementara Zayn masih dengan sorot tajam matanya mulai menjawab panggilan itu, sesekali ia tersenyum bahkan terkekeh kala membalas ucapan Zhafira di ujung panggilan. Ternyata, Zhafira benar-benar mampu menjadikan kami sosok kami yang sebenarnya mengingat bagaimana dinginnya sosok Zayn di hadapan kami. Aku menunduk pelan masih bergelut dengan pikiranku yang berkecamuk. Aku bahkan dapat merasakan dekapan lembut dan hangat Aliyah yang berusaha menenangkanku. Sepertinya Yusuf belum mengatakan kepada Zhafira bahwa dia ada di Edinburgh mengingat bagaimana mereka belum berhubungan hingga saat ini.

I am not MarionetteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang