Diary sang musafir:
"Aku termenung, aku tau bagaimana dia menyukai senja dan keindahannya, dan aku akui aku juga. Aku masih terngiang banyak ucapannya yang menamparku jauh dari angan terindahku tentang dunia. Aku pikir aku bisa mengendalikan diriku sendiri. Ternyata aku salah. Ketakutanku justru sebuah dilema besar yang membuatku menjadi lemah. Lantas aku harus apa? Syair indah itu seolah menjadi ratapan yang tak berdasar. Sebuah jurang gelap yang hanya membelengguku dalam kesebdirian. 'Kamu salah! Kamu tak pernah sendiri, ada Tuhan yang menemanimu,' ucapan itu membuatku kembali terngiang, dimana Tuhan? Kenapa aku masih seperti ini?"
———
Hari menjelang sore, beberapa saat yang lalu siang hari di Mazarine Library, Barra mengajakku untuk mendirikan shalat dhuhur di gudang penyimpanan perpustakaan setelah meminta izin dari Mrs. Stone, wanita paruh baya yang berjadwal untuk menjaga perpustakaan hari ini. Setelahnya, kami meneruskan kegiatan kami masing-masing. Barra dengan bukunya begitu pun aku hingga tanpa sadar matahri mulai bergerak ke ufuknya. Aku membaca sekilas cerita anak tentang "Hazel dan Gretel" yang merupakan dongeng lama yang berasal dari Jerman, mungkin seperti cerita lama "Malin Kundang" yang merupakan dongeng asal Indonesia.
Aku masih fokus membaca kala suara itu dengan begitu pelan seakan tak ingin mengganggu orang-orang di sekitar kami mulai muncul.
"Assalamualaikum," ucapnya
"Waalaikumsalam," balasku dan Barra bersamaan.
Aliyah tersenyum menatap kami dan segera mengambil tempat duduk di sebelahku, sementara itu Zayn duduk di sebelah Barra dengan wajah dinginnya yang menambah sensasi tegang di antara kami. Bagaimana tidak mengingat sikap dingin Barra yang harus disatukan dengan Zayn dalam rentang ruang dan waktu yang bersamaan. Namun seseorang tiba-tiba menarik Zayn dari kursinya dan duduk di kursi tersebut tanpa mengacuhkan wajah dingin Zayn yang menahan diri untuk tak menerkamnya. Sementara itu seakan tak terjadi apa pun, Barra tetap fokus pada buku tebalnya itu.
"Hai," sapa laki-laki itu ramah yang membuatku mengangguk pelan dan tersenyum di balik cadarku.
"Dia Yahya, kalian belum sempat bertemu saat itu," ujar Aliyah yang membuatku mengangguk pelan.
"Jadi kamu..."
"Dhaniya," balasku cepat kepada Yahya.
"Gatcha! Nama yang bagus."
"Terima kasih."
"Apa yang sedang kamu baca?" Tanya Aliyah dengan senyum ramahnya seperti biasa.
"Oh ini hanya buku cerita anak. Aku kesulitan menemukan buku berbahasa Inggris di sini," aku mengaku.
"Oh ya? Buku bahasa Inggris ada banyak di rak sebelah barat, mau mencarinya bersama?" Tawar Yahya ramah yang membuatku mengangguk pelan.
"Aku ikut," sergah Aliyah yang aku balas dengan anggukan.
Lantas kami berjalan menuju deretan rak yang Yahya tunjukkan, meninggalkan Zayn dan Barra dengan aura mereka masing-masing. Aku berjalan di sepanjang rak yang Yahya tunjukkan. Dia benar, hampir semua buku yang ada di deretan rak ini berbahasa Inggris dan itu memudahkanku.
"Jadi bagaimana berkeliling Paris bersama ahlinya?" Tanya Yahya ramah.
"Ahlinya?"
Dia terkekeh pelan. "Zarel."
"Oh ya, dia luar biasa."
"Pasti membosankan kan? Dia akan mengoceh panjang tentang sejarah yang tak pernah kita tau," sergah Aliyah cepat.
"Tidak!" Balasku cepat, "Tidak sama sekali."
KAMU SEDANG MEMBACA
I am not Marionette
RomanceTantangan adalah hal yang selalu aku hindari dalam hidupku. Hal itu membuatku harus merasakan banyak penyesalan yang tak ingin aku ulang kembali. Mataku menatap bangunan kokoh ini dengan banyaknya sejarah masa lalu yang membuatku segan dan merasa hi...