3. I Know She is Fake

236 40 3
                                    

Author POV

Lalisa tidak pernah menegur Jennie sekalipun mereka berada di meja yang sama selama seminggu ini.

Ia selalu sibuk mengurusi banyak hal dan tidak memperdulikan gadis bermata kucing yang duduk di sebelahnya, tidak menegurnya ataupun menyapa. Selain menjadi ketua OSIS, gadis berwibawa ini juga ketua kelas.

Dia benar-benar tidak menganggap Jennie ada.

Tidak peduli sekalipun gadis itu memanggilnya di kantin atau di tempat lain, Lisa sama sekali tidak tertarik meladeni gadis bermata kucing itu. "Bisakah kau mengatakan satu atau dua hal kepadaku?" Jennie yang merasa diabaikan selama seminggu ini mulai kesal ketika melihat Lisa yang menopang kepalanya menggunakan tangan kanan.

Gadis itu selalu memandang jendela dan membelakangi Jennie.

"Aku tahu kau tidak tuli," ucap Jennie.

"Aku berada di sampingmu dan kau selalu mengacuhkanku? Huh? Aku berbicara dengan manusia atau tembok?" sambungnya.

"Hey!" Jennie menjentikkan jarinya beberapa kali.

"Aaa.. Kau jadi bisu ya jika pantatmu sudah menempel di kursi itu?" Lisa tetap tidak mengacuhkannya.

Ia hanya menutup matanya dan mendengarkan Jennie seperti mendengarkan kicauan burung beo yang baru belajar bicara.

"Hey! Kau menyebalkan kau tahu jelas bukan?"

"Manoban? Manobel? Manobey? Manogay..." Jennie yang masih berusaha keras menarik perhatian Lalisa.

Lalisa tetap tak bergeming, pandangannya tetap terarah ke luar jendela seolah tak ada yang terjadi di sekitarnya. Tatapannya kosong, hanya menikmati pemandangan di luar tanpa sedikit pun peduli dengan kehadiran Jennie Kim.

Lisa menarik napas pelan, tetap tidak menjawab. Ia hanya menyilangkan tangannya di dada dan menutup matanya, seakan ingin mengasingkan diri dari percakapan yang sedang berlangsung.

Jennie menggelengkan kepala melihat sikap Lisa yang begitu dingin dan acuh tak acuh. "Gadis ini benar-benar seperti tembok," katanya setengah berbisik, namun cukup keras untuk didengar oleh Lisa.

Lisa tetap tidak bereaksi, seolah-olah semua kata-kata itu hanya angin lalu. Suasana semakin canggung, namun Lisa tampaknya nyaman dalam keheningan yang ia ciptakan.

Lisa masih tetap di posisinya, tak sedikit pun terganggu oleh interaksi yang baru saja terjadi. Ia terus memandang ke luar jendela, menikmati pemandangan yang menurutnya jauh lebih menarik daripada percakapan yang barusan berlangsung.

Tiba-tiba adik kelasnya, Jimin, baru saja masuk dan langsung berjalan ke arah Lisa. "Sunbaenim, maaf mengganggu. Aku mau menyampaikan pesan dari wakil ketua OSIS untuk berkumpul nanti sore membahas acara dua bulan lagi. Mereka ingin mendiskusikan detail persiapan dan membagi tugas kepada semua anggota," ucap Jimin dengan suara sopan namun terdengar jelas di seluruh ruangan.

Lisa tetap tidak menoleh, pandangannya masih tertuju ke luar jendela. "Katakan padanya aku akan datang sedikit terlambat. Sampaikan kepada Namjoon bahwa dia bisa memulai rapat terlebih dahulu tanpa menunggu aku," jawabnya dengan suara tenang dan datar, tanpa mengubah posisi sedikit pun, lalu anak itu pergi keluar dari kelas A.

Jennie, yang mendengar percakapan itu, merasa semakin kesal. Ia menoleh ke arah Lisa dengan mata yang menyala-nyala. "Kau?" katanya dengan nada marah yang sulit ditutupi. "Kau bisa bicara dengannya tapi tidak denganku? Apa bedanya aku dengan dia?"

Lisa akhirnya menoleh ke arah Jennie, menatapnya dengan pandangan yang tenang dan penuh percaya diri. Ia tersenyum tipis sebelum berkata, "Apa yang kau inginkan, Jennie Kim? Kenapa kau begitu kesal?"

THE SKRIP (GXG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang