19. Shadows of Pain Behind the Mirror

199 41 7
                                    

Author POV

Lisa memasuki kelas pagi itu dengan tatapan dingin yang tidak pernah lepas dari wajahnya.

Seluruh siswa mulai berbisik-bisik ketika melihatnya masuk, tetapi tidak ada yang berani mengganggunya. Lisa yang biasanya duduk di dekat jendela, tak sudi duduk disamping Jennie lagi.

Pandangannya menyapu kelas, mencari tempat kosong.

Hanya ada satu kursi yang tersedia, di pojok belakang. Tanpa ragu, gadis itu melangkah ke sana dan duduk. Tanpa sepatah kata pun, Lisa mengeluarkan buku catatannya dan menatap lurus ke depan, memusatkan perhatian pada papan tulis.

Selama pelajaran berlangsung, Lisa tidak menunjukkan tanda-tanda terganggu oleh apapun. Pandangannya tetap fokus pada guru dan papan tulis, mencatat dengan cepat tetapi rapi, seolah mencoba menenggelamkan dirinya dalam materi pelajaran.

Berkali-kali Jennie melirik ke arah Lisa, berharap bisa menangkap pandangannya, tetapi Lisa tidak pernah memberinya kesempatan. Setiap kali mata Jennie bergerak ke arahnya, Lisa tetap tak bergeming, sepenuhnya tenggelam dalam tugas-tugas yang dihadapinya.

Ketika bel istirahat berbunyi, Jennie berniat menghampiri Lisa, berharap bisa berbicara atau setidaknya menanyakan kabarnya.

Namun, sebelum Jennie bisa bergerak, Lisa sudah berdiri dan meninggalkan kelas tanpa sepatah kata. Jennie hanya bisa menatap punggung Lisa yang menjauh, merasa semakin terasing.

Hari itu, Lisa seperti bayangan yang tidak bisa dipegang.

Saat Jennie mencoba mencarinya selama istirahat, Lisa sudah menghilang. Ketika bel berbunyi, Jennie berharap bisa bicara dengannya di depan kelas, tetapi lagi-lagi, Lisa sudah menghilang entah ke mana.

Sikap Lisa yang menghindar dan menjauh membuat Jennie semakin resah, sementara Lisa sendiri tampaknya bersikeras untuk menjaga jarak, menolak memberi ruang bagi Jennie untuk mendekat.

Setelah bel pulang sekolah, Lisa langsung menuju ruang rapat OSIS tanpa membuang waktu.

Lisa memimpin rapat OSIS dengan ketegasan yang tak biasa. Setiap keputusan diambil dengan cepat, tanpa ruang untuk debat atau kompromi. Para anggota OSIS lainnya merasakan perubahan ini, namun tak ada yang berani mengajukan pertanyaan.

Semua mengikuti arahan Lisa dengan patuh, menyadari bahwa suasana rapat kali ini berbeda dari biasanya.

Namjoon, yang duduk di ujung meja, mengangkat tangan untuk berbicara. "Lisa, mengenai pesta besar yang akan kita adakan sebulan lagi, aku ingin memastikan semuanya berjalan lancar. Ini acara besar, dan kita perlu menyusun rencana dengan baik."

Lisa menatap Namjoon sejenak sebelum mengangguk. "Aku sudah memikirkan itu. Kita harus mulai membagi tugas dari sekarang. Sana, kau akan bertanggung jawab atas dekorasi. Aku ingin tema yang benar-benar berbeda dari tahun-tahun sebelumnya."

Sana tersenyum tipis dan mengangguk. "Aku sudah punya beberapa ide. Akan kupastikan dekorasinya menarik perhatian."

Namjoon melanjutkan, "Dan untuk hiburan, bagaimana kalau kita mengundang band lokal? Aku bisa menghubungi mereka."

Lisa mengangguk lagi. "Lakukan. Pastikan mereka tahu ini bukan acara biasa. Aku ingin pesta ini dikenang, tak hanya oleh siswa, tapi juga oleh guru-guru. Semua harus berjalan sempurna."

Rapat pun dilanjutkan dengan pembagian tugas yang lebih rinci. Masing-masing anggota OSIS segera menyadari bahwa pesta ini akan menjadi salah satu yang terbesar yang pernah mereka adakan, dan Lisa sangat serius untuk membuatnya sukses.

Setelah rapat selesai, Lisa mengumpulkan berkas-berkasnya dan berjalan keluar dari ruang OSIS. Dia berniat kembali ke kelas untuk mengambil tasnya.

Namun, saat melewati lapangan basket, langkahnya tiba-tiba terhenti. Kenangan-kenangan yang menyakitkan, yang sudah berusaha dia lupakan, kembali menghantuinya. Hatinya terasa berat, dan dia hanya bisa berdiri di sana, diam, sementara pikirannya berkecamuk.

THE SKRIP (GXG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang