15. The Bitter Taste

186 36 8
                                    

Kenapa jarang banget yang vote :(
jujur semangat gw berkurang

Jennie POV

Hari sudah malam saat aku sampai di rumah Lisa, aku segera menuju kamarnya dengan hati-hati. Pintu kamarnya sedikit terbuka, dan aku bisa melihatnya masih terbaring di tempat tidur. Wajahnya tampak sedikit lebih baik daripada pagi tadi, tapi aku tahu dia masih sangat lemah.

Aku masuk perlahan, berusaha tidak membuat suara berlebihan. "Lisa," panggilku dengan lembut sambil mendekati ranjangnya.

Lisa membuka matanya perlahan, dan begitu dia melihatku, dia tersenyum tipis. "Jennie... Kau datang."

"Tentu saja," jawabku sambil meletakkan tas dan mengambil handuk kecil yang sudah kubasahi. Aku mulai mengompres dahinya, berharap demamnya cepat turun. "Bagaimana perasaanmu sekarang?"

Lisa menghela napas pelan. "Sedikit lebih baik, mungkin karena ada perawat pribadi sekarang."

Aku tersenyum kecil, merasa lega melihatnya masih bisa bicara dengan tenang. "Bagaimana sekolahmu?"

"Biasa saja, hanya terasa aneh tidak ada kau di sampingku," ucapku sambil terkekeh ringan.

"Bukankah itu bukan hal baru, Jennie Kim?" bibirnya tersenyum, menampilkan deretan giginya yang rapi. "Aku sering rapat dan tidak ada di kelas."

"Ya... aku tahu, tapi setidaknya aku bisa melihatmu di ruang OSIS."

"Ehem... kau menguntitku," ucapnya sambil mengangguk, menggodaku.

"Hell no..." aku terkekeh ringan "Hanya saja kau selalu sibuk, melakukan ini dan itu. Aku hanya memperhatikanmu terkadang, hanya saja ada yang kurang jika tidak melihatmu seharian," ucapku sambil memeras handuk untuk membersihkan wajahnya.

Tangannya menggenggam tanganku yang sedang memegang handuk. Mata sayunya menatap mataku dalam.

Lisa POV

"Hanya saja kau selalu sibuk." Kata-kata itu menusukku seperti belati, meski Jennie tidak menatapku saat mengatakannya. Setiap kata membawa beban yang lebih berat dari yang bisa dilihat oleh siapa pun.

Aku tahu ada lebih banyak di balik kalimat itu, sesuatu yang mungkin dia tidak berani ungkapkan dengan jelas.

Tangan Jennie yang menggenggam handuk terasa begitu lembut, tapi ada ketegangan di sana—sebuah kekhawatiran yang sulit diabaikan.

Dia melanjutkan membersihkan wajahku dengan lembut, tetapi aku bisa merasakan ada jarak yang mulai terbentuk, jarak yang tak bisa kulukiskan. Setiap gerakan, meski tampak biasa, seolah penuh dengan emosi yang terkendali.

Aku memutuskan untuk berpura-pura tidak memedulikan semua itu, berusaha menutupi luka yang tiba-tiba terasa perih di hatiku. "Jennie... aku menyukaimu," ucapku pelan, mencoba terdengar ringan meski ada ketegangan yang jelas.

Aku tahu ini bukan waktu yang tepat, tapi aku merasa perlu mengatakannya, karena aku tidak tahu kapan kesempatan seperti ini akan datang lagi.

Jennie berhenti sejenak, seolah sedang mencerna kata-kataku. Aku bisa melihat keraguan di matanya, sesuatu yang tak biasa kulihat. Hati ini semakin berdebar, bukan karena demam yang belum sepenuhnya sembuh, tapi karena ketakutan akan apa yang mungkin terjadi setelah ini.

"Aku ingin memilikimu," lanjutku, suaraku semakin pelan. Rasanya seperti ada sesuatu yang menekan dadaku, membuatku sulit bernapas. Jennie adalah satu-satunya yang bisa membuatku merasa lemah sekaligus kuat, dan aku tahu aku tidak bisa terus menutupi perasaan ini.

Aku memandangi matanya, mencari jawaban, mencari sesuatu yang bisa meyakinkanku bahwa dia merasakan hal yang sama. Tapi saat aku melihat ke dalam matanya, aku hanya menemukan kebingungan dan ketakutan—perasaan yang sama sekali tidak kuharapkan.

THE SKRIP (GXG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang